JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menyatakan, bahwa suara burung yang diperdengarkan secara alami dari sangkarnya tidak dikenai royalti, selama tidak melalui proses perekaman atau pengolahan fonogram.
Sebagai informasi, fonogram adalah huruf atau kombinasi huruf yang membentuk bunyi. Kombinasi fonogram ini kemudian membentuk sebuah kata. Setiap bunyi dalam sebuah kata merupakan fonogram.
“Jika didengarkan secara alamiah dari sangkarnya, tidak ada perekaman di situ, maka itu tidak perlu bayar royalti,” ujar Komisioner LMKN Bidang Lisensi dan Kolekting, Jhonny W. Maukar, dalam keterangan persnya, Kamis (7/8/2025).
Namun, ia menambahkan apabila suara tersebut direkam dan digunakan kembali secara komersial, maka statusnya berubah menjadi fonogram dan dikenai perlindungan hak cipta.
“Kalau ada fiksasi (perekaman), maka di dalam karya rekam itu ada perlindungan hukum. Pemegang haknya bukan burungnya, tapi produser fonogram atau pihak yang melakukan rekaman,” jelasnya.
Pemilik Kafe Bisa Jadi Produser Fonogram
Dalam kasus tertentu, pemilik usaha seperti kafe yang merekam sendiri suara burung atau alam untuk digunakan dalam bisnisnya bisa menjadi produser fonogram. Hal ini membuka peluang bagi mereka untuk menerima kembali royalti yang mereka bayarkan.
Dalam hal ini pemilik kafe harus terdaftar sebagai anggota LMK, maka akan menerima kembali 80 persen dari royalti yang dibayarkan. Sedangkan, 20 persen sisanya digunakan untuk biaya operasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta.
“Silakan pemilik kafe merekam sendiri, kemudian mendapatkan royaltinya sendiri. Kalau dia menjadi anggota LMK, 80 persen dari royalti bisa kembali ke dia,” kata dia.
Ketua LMK Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi), Jusak Irwan Setiono, juga menegaskan bahwa suara alam yang asli, bukan hasil rekaman, tidak termasuk dalam objek royalti. Namun, bila suara alam tersebut diambil dengan alat perekam dan digunakan secara komersial, hak cipta dan hak terkait berlaku.
“Kalau ada orang yang pergi ke hutan, nungguin suara burung, terus direkam, itu kan ada usaha dan biaya. Maka si perekam punya hak sebagai produser fonogram,” ucap Jusak.
Menurutnya, produser fonogram memiliki hak atas hasil rekaman, dan jika rekaman tersebut digunakan secara publik atau komersial seperti di restoran, hotel, atau kafe maka royalti wajib dibayarkan kepada produser.
Baca juga:
Pimpin LMKN, Siapa Dharma Oratmangun? Ramai Isu Royalti Musik
Skema Royalti: Rp 120 Ribu per Kursi per Tahun
Dalam skema pembagian royalti, LMK membedakan dua kategori yakni hak cipta (untuk pencipta lagu) dan hak terkait (untuk pelaku pertunjukan dan produser fonogram). Untuk usaha seperti kafe atau restoran, royalti umumnya dibebankan sebesar Rp 120 ribu per kursi per tahun, yang terbagi menjadi Rp 60 ribu untuk masing-masing kategori.
Namun, dalam konteks suara alam yang tidak memiliki pencipta atau pelaku pertunjukan, royalti hanya dikenakan untuk hak terkait. “Kalau tidak ada penciptanya, maka hanya bagian produser fonogram saja yang dihitung,” ujar Jusak.
Jusak juga menepis anggapan bahwa penarikan royalti oleh LMK atau LMKN dilakukan secara sepihak. Menurutnya, lembaga pengelola royalti memiliki prinsip keberlanjutan, baik bagi pelaku usaha maupun pemegang hak cipta.
“Kalau pelaku usaha kami tekan, tahun depan mereka tidak akan hidup dan kami juga tidak akan dapat apa-apa,” tegasnya.
(Dist)