Ia juga menyayangkan keputusan Kemenkes yang tidak melibatkan Kemenperin dalam pembahasan R-Permenkes tersebut.
“Ini, kan, ngawur,” ujar Khoirul.
Menurutnya, Kemenkes berusaha mengatur berbagai aspek mulai dari penyiaran, perdagangan, hingga standarisasi kemasan rokok, tanpa dasar hukum yang kuat.
“Standarisasi kemasan yang dimaksud adalah kemasan polos (plain packaging) yang tidak diatur dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah,” katanya.
BACA JUGA: Aturan Terbaru Soal Rokok, Perokok dan Penjual Wajib Tahu!
Khoirul menyatakan, pejabat seharusnya tidak membuat aturan yang bertolak belakang dengan hukum yang sudah ada.
Dia juga memperingatkan dampak ekonomi dari penerapan kebijakan ini. Menurutnya, jika kemasan polos diterapkan, permintaan produk rokok legal bisa turun hingga 42%, dan penerimaan negara berkurang Rp95,6 triliun.
Selain itu, kebijakan ini juga berpotensi merugikan sekitar 1,22 juta pekerja di industri terkait.
“Kemenperin berteriak lantang menolak R-Permenkes ini karena dampaknya sangat besar. Adanya kemasan polos justru meningkatkan peredaran rokok ilegal, seperti yang sudah terjadi di negara lain seperti Prancis, Kanada, dan Thailand,” jelas Khoirul.
Khoirul menyebut, peredaran rokok ilegal di Indonesia sudah mencapai 7% pada 2023, dan jika harga rokok naik serta kemasan polos diterapkan, peredaran rokok ilegal akan meningkat lebih jauh.
Ia juga menekankan bahwa potensi penerimaan negara yang hilang bisa mencapai Rp308 triliun jika seluruh skenario R-Permenkes diberlakukan.
“Jika dampak ekonomi mencapai angka Rp308 triliun, target pertumbuhan ekonomi 5% pun sulit tercapai. Kemenkes tampaknya ingin menenggelamkan perekonomian Indonesia,” ujar Khoirul.
Ia pun menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk bersatu menolak kebijakan ini demi menyelamatkan industri hasil tembakau dari kehancuran.