BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Di balik kemajuan sosial dan politik Indonesia, budaya patriarki masih menjadi hambatan besar bagi terciptanya kesetaraan gender. Patriarki adalah sistem nilai yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan dan pengambil keputusan, sementara perempuan ditempatkan dalam posisi subordinat terutama dalam ranah domestik. Budaya ini membentuk pola pikir, sistem sosial, dan struktur kebijakan yang secara tidak langsung membatasi ruang gerak perempuan di berbagai aspek kehidupan.
Dalam dunia politik, perempuan masih kesulitan menembus dominasi laki-laki. Meskipun ada kebijakan kuota 30% bagi calon legislatif perempuan, hasil Pemilu 2024 hanya menunjukkan 22% perempuan berhasil lolos ke DPR RI. Ini mencerminkan bahwa hambatan bukan hanya teknis atau administratif, tetapi juga kultural. Politik masih dipandang sebagai ranah “maskulin”, dan perempuan yang ingin masuk ke dalamnya kerap menghadapi stigma, keraguan, bahkan pelecehan.
Di bidang ekonomi dan dunia kerja, perempuan menghadapi kesenjangan upah, stereotip peran kerja, serta beban ganda antara tanggung jawab domestik dan profesional. Banyak perusahaan yang secara tidak langsung menutup peluang perempuan naik ke jenjang kepemimpinan karena menganggap mereka kurang kompetitif atau terlalu “emosional”. Budaya kerja juga kerap tidak ramah terhadap perempuan, apalagi bagi ibu bekerja.
Baca Juga:
Ini Dia Maling Motor di Nagreg Bandung, Pelaku Mahasiswa Asal Sumedang
Kasus Pelecehan Seksual Guncang Purwakarta, Disdik Siapkan Surat Edaran Pengamanan Siswa
Dalam pendidikan, kendati akses perempuan semakin luas, masih ada bias tersembunyi. Perempuan cenderung diarahkan pada bidang-bidang yang dianggap “feminin”, seperti keperawatan atau pendidikan, sementara bidang teknik, politik, dan teknologi masih didominasi laki-laki. Hal ini menghambat pemerataan representasi gender di berbagai sektor penting pembangunan.
Di level keluarga dan masyarakat, perempuan kerap dibentuk untuk menjadi sosok penurut, lemah lembut, dan mengutamakan peran pengasuh. Norma ini membuat banyak perempuan enggan tampil di ruang publik atau mengambil keputusan penting. Media turut memperkuat stereotip ini dengan lebih sering menyoroti fisik, emosi, atau kehidupan rumah tangga perempuan daripada kompetensinya.
Indonesia memang telah meratifikasi Konvensi CEDAW yang bertujuan menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Namun, sebagaimana dicatat Komnas Perempuan, implementasinya masih menghadapi hambatan besar karena budaya patriarki masih mendominasi lembaga politik, pendidikan, bahkan kebijakan negara.
Untuk membongkar sistem patriarkal, dibutuhkan langkah konkret yaitu peningkatan pendidikan politik dan gender, reformasi institusi agar lebih inklusif, serta perubahan budaya melalui media dan pendidikan. Masyarakat perlu menyadari bahwa peran gender bukan kodrat biologis, melainkan konstruksi sosial yang bisa diubah. Mendorong kesetaraan bukan hanya untuk membela hak perempuan, tapi untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih adil dan demokratis. Ketika perempuan memiliki akses yang setara dalam pendidikan, pekerjaan, politik, dan pengambilan keputusan, bangsa ini akan bergerak lebih maju dengan kebijakan yang lebih inklusif dan berperspektif keadilan.
Penulis:
Gisca Dea Sukma
Jurusan: Ilmu Komunikasi
Kampus: Bhakti Kencana University