BANDUNG,TM.ID: Kabupaten Bandung Barat (KBB) memiliki sumber daya alam yang melimpah, debit air tinggi menjadikan wilayah ini menjadi pemasok energi listrik tenaga air bagi pulau Jawa, Bali dan Madura.
Tercatat hingga tahun 2024, terdapat tiga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan satu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berdiri megah di penjuru wilayah seluas 1.287 hektar persegi ini.
Tertua ada PLTA Saguling berkapasitas 700 Mega Watt (MW) yang membangkitkan listrik 2.156 Gigawatt Jam (GWh) per tahun, kemudian PLTA Cirata berkapasitas 1.000 MW yang mampu membangkitkan listrik 1.428 GWh per tahun.
Di wilayah selatan KBB, kini tengah dibangun PLTA Upper Cisokan Pumped Storage (UPCS) yang digadang memiliki kapasitas mencapai 1.040 MW.
Terakhir, presiden Joko Widodo meresmikan operasional PLTS Terapung Cirata pada 9 November 2023, PLTS terapung terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara ini memiliki kapasitas terpasang 192 megawatt hour (MWp).
Ironisnya, kemegahan sebagai daerah penghasil energi listrik tidak berbanding lurus dengan kenyataan masih adanya warga KBB yang belum menikmati jaringan listrik handal, era digital bagi mereka hanya angan saja.
Salah satunya bagi warga di Kampung Cisarua, RT.04 RW.15 Desa Sirnajaya, Kecamatan Gununghalu, KBB, kampung terisolir dihuni 11 Kepala Keluarga (KK) telah berdiri sejak tahun 1970-an.
BACA JUGA: 33.000 Rumah Terendam, Bey Machmudin Janji Akhiri Banjir Tahunan di Cirebon
Namun hingga kini, mereka masih belum mendapatkan keandalan jaringan listrik, jika pun untuk sekedar penerangan mereka harus merogoh kocek membentang kabel sejauh 1 kilometer menumpang pada warga pemilik KWH meter.
Kampung asri ini berada pada lembah hutan pinus diapit dua sungai Cibuluh dan Cisarua, mayoritas warga mengais rejeki menyadap getah pinus, bertani dan beternak. Untuk sampai kampung ini hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki, jika pun mengendarai motor setidaknya bagi mereka yang mampu melibas jalan berbatu dan alas tanah sejauh dua kilometer.
Jangan harap jalanan datar dengan pemandangan memanjakan mata, untuk sampai kampung jalan sempit berupa tanjakan dan turunan terjal bahkan menyebrang sungai sudah pasti menguras fisik dan mental.
“Saya tahun 1983 pindah kesini setelah menikah dengan istri saya asli warga kampung Cisarua, dulu ada 20-an rumah disini. Tapi kini hanya tersisa 11 rumah, mungkin karena mereka enggak tahan hidup tanpa listrik begini,” ungkap Abah Husen (63), salah seorang warga kampung Cisarua, Rabu (6/3/2024).
Bukan tanpa alasan, abah Husen dan warga lainnya terpaksa bertahan di kampung tanpa listrik lantaran mereka bekerja menyadap getah pohon pinus, tempat mereka bermukim terbilang berbatasan dengan kawasan hutan Pinus milik Perhutani Bandung Selatan.
Meski hidup terisolir tanpa hiruk pikuk dunia digital, warga Cisarua ini lebih memilih bertahan karena penopang kehidupan ekonomi mereka dari getah Pinus cukup untuk mencukupi kebutuhan perut.
“Menyadap getah pinus ini saya bisa dapat sekitar Rp800 ribu sebulan, tergantung dari seberapa banyak timbangan getah pinus yang kita dapat. Selebihnya ya kita garap sawah, berkebun dan beternak untuk kebutuhan perut saja,” terangnya.
Soal kebutuhan dasar listrik, sejak tahun 2003 warga terpaksa membentang kabel dari KWH meter milik warga seberang kampung sejauh 1 kilometer. Meski terbilang ilegal, setidaknya untuk sekedar 3 gantungan lampu warga yang dermawan masih mau berbagi.
“Kalau kita mampu pasang Kwh meter saja tetap harus titip di kampung Cibuluh, kalau kesini belum ada tiangnya, jaringan belum sampai kesini,” katanya.
Kondisi ini terus bertahan hingga sekarang, mereka hanya bisa menikmati penerangan saja tanpa bisa menambah peralatan listrik lain seperti televisi, kulkas atau sekedar mengecas handphone.
Ketiadaan jaringan listrik, kata Husen, menyebabkan sebagian warga kampung memilih untuk pindah ke tempat yang lebih baik. Ditemukan beberapa rumah berbahan kayu dan bambu kosong ditinggal penghuni, mereka tak tahan hidup dalam kegelapan sementara diluaran sana sudah memasuki era digital yang bergantung pada pasokan listrik.
“Kalau saya mau ada TV enggak kuat listriknya, yang punya KWH meter cuma 450 Watt. Untuk 3 gantungan lampu ini saya bantu bayar Rp20ribu sebulan. Ini juga tidak stabil sering padam karena kabel kadang putus kalau cuaca kurang baik,”jelasnya.
Dari 11 rumah tersisa saat ini, empat KK telah memiliki KWH meter sendiri namun tetap saja KWH meter dipasang sejauh 1 kilometer di kampung sebelah. Warga tetap harus mengeluarkan uang sendiri untuk membentang kabel dari KWH meter ke bangunan rumah.
“Dulu saya juga sempat pasang KWH meter, tapi tetap harus membentang kabel sendiri untuk sampai rumah ini. Enggak lama diputus PLN saat saya pindah dulu mendekati sekolah anak,”tutur Husen.
Abah Husen dan warga kampung Cisarua berharap jaringan listrik yang handal bisa sampai di kampungnya. Jika dari kampung sebelah yang sudah ada tiang listrik setidaknya butuh 10 tiang lagi untuk sampai pemukiman mereka.
Kondisi geografis yang tidak baik menjadi kesulitan PLN melakukan perluasan jaringan ke Kampung Cisarua. Husen berharap solusi bijak dari pemerintah misalnya membangun energi terbarukan seperti tenaga surya atau pembangkit listrik tenaga air kecil mengingat terdapat dua sungai yang bisa dimanfaatkan memasol listrik warga kampung.
“Kalaupun sudah ada tiang saya juga bingung kalau harus pasang baru, uangnya belum ada. Ya mudah-mudahan kalau sudah ada listrik yang bagus terus ada rejeki mau beli TV atau Radio buat hiburan saja,”katanya.
Terpisah, Kepala Desa Sirnajaya, Suhardi menerangkan, Kampung Cisarua terletak 15 kilometer dari kantor Kecamatan Gununghalu. Kampung ini terisolir karena berada pada lembah dengan akses jalan yang belum terbuka.
Untuk sampai kampung ini jalan hanya berupa jalan setapak kurang lebih 3 kilometer dari jalan mobil. Jalan juga terbilang ekstrem melalui pemukiman warga, sawah, kebun, tebing terjal dan harus menyeberang sungai tanpa jembatan.
“Memang jaringan tiang listrik belum sampai ke kampung Cisarua, warga masih membentang kabel dari tiang terdekat sejauh 1 kilometer dari kampung Cibuluh atau dari Kampung Pangragajian,”sebutnya.
Suhardi mengatakan, pernah ada rencana perluasan pemasangan tiang ke kampung Cisarua namun saat itu PLN tidak mampu membawa tiang karena kondisi geografis yang kurang baik.
Jika mengandalkan bantuan warga untuk membawa tiang melalui jalan sempit dan menanjak warga tidak sanggup. Ia berharap pemerintah pusat memberikan solusi bijak menyesuaikan kondisi geografis kampung Cisarua.
“Untuk Desa Sirnajaya tinggal beberapa kampung dengan kondisi geografis yang sulit belum bisa sampai tiang listrik, paling banyak itu kebutuhan KWH meter mungkin ada 400 rumah. Dibutuhkan skema lain misalnya energi terbarukan menyesuaikan sumber daya alam yang ada agar kampung terisolir seperti Cisarua dapat listrik yang stabil,” terangnya.
(Tri/Dist)