JAKARTA,TM.ID : Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita memandang putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) terkait penundaan pemilu sebagai tindakan brutal. Karena berdasarkan sistem hukum pemilu, PN hanya mendapatkan wewenang untuk menyelesaikan perkara tindak pidana pemilu dan penyelesaian perselisihan partai politik.
“Ini tindakan brutal jika suara penundaan pemilu itu muncul dari Pengadilan Negeri,” Kata Nurlia dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (4/3/2023).
Menurut dia, Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) atas tindakan badan publik karena yang berwenang adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019.
“Jika PN tidak berwenang mengadili, itu menjadi tindakan yang melampaui kewenangan,” imbuhnya.
Selain itu, dia menyayangkan pula proses gugatan yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) tidak diekspose ke publik sejak awal, terutama dengan adanya tuntutan penundaan pemilu.
Untuk itu, JPPR mendorong agar proses persidangan selanjutnya mendapatkan atensi dari Komisi Yudisial (KY) guna melakukan pemantauan persidangan secara masif sampai dengan berkekuatan hukum tetap (inkrah).
“Untuk memastikan proses persidangan ke depan menjamin penerapan Kode Etik dan Pedoman Prilaku Hakim (KEPPH),” katanya.
JPRR, kata dia, juga mendorong agar dilakukannya audit terhadap penerapan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) oleh KPU, sebagaimana gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) oleh Partai Prima.
“Karena dianggap dalam proses tahapan pendaftaran, verifikasi dan penetapan partai politik peserta pemilu merugikan penggugat, yang dalam hal ini penggugat tidak lolos verifikasi administrasi karena penerapan Sipol yang bermasalah,” terangnya.
Menurut dia, JPPR telah beberapa kali bersuara bahwa dalam penggunaannya Sipol yang dimaksudkan sebagai alat bantu itu tidak aksesibel dan tidak terbuka sehingga dapat berakibat pada status keanggotaan partai politik.
“Terkait adanya kewajiban kesesuaian antara dokumen dan keterangan dokumen yang diinput dalam Sipol,” katanya pula.
Ia juga mengatakan, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU RI menunda pelaksanaan Pemilu 2024 tidak relevan dengan persoalan gugatan.
BACA JUGA: Soal Penundaan Pemilu, KY: Putusan PN Jakpus Kontroversial
Hal itu, kata Nurlia, karena putusan tersebut tidak didasari pada alasan pemulihan hak penggugat yang dirugikan.
“Hanya didasarkan alasan menghukum KPU, bukan alasan pemulihan hak yang dirugikan; alasan yang tidak relevan dengan persoalan,” katanya.
Menurut dia, majelis hakim tidak argumentatif dalam menafsirkan ketentuan berkaitan dengan pemilu susulan dan pemilu lanjutan, serta mekanisme penetapan penundaan pemilu sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).
Dia juga menilai putusan yang memerintahkan KPU RI melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari itu bermasalah karena mengangkangi konstitusi untuk menunda pemilu dengan jangka waktu yang tidak rasional atau argumentatif.
“Jika ingin mengembalikan titik semula dari awal pendaftaran partai politik peserta pemilu, kurang lebih hanya delapan bulan, dihitung dari bulan Juni 2022 ke belakang. Tidak sampai dua tahun lebih,” ujarnya.
Ia lantas berkata, “Ini tentu menjadi kejanggalan dan keanehan dalam penerapan hukum yang dilakukan oleh majelis”. pungkasnya.
(Budis)