BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Jagat maya kembali dihebohkan oleh video penampilan tari Joged Bumbung yang viral di media sosial. Meski video ini direkam pada tahun 2024, unggahan ulangnya di tahun 2025 langsung memicu perdebatan publik.
Hal ini menjadi sorotan adalah gaya penari bernama Gek Wik, yang dinilai memperagakan gerakan tari secara berlebihan dan menjurus erotis.
Aksi Joged Bumbung Gek Wik tersebut terekam di sebuah acara di Jimbaran. Alih-alih dianggap sebagai bentuk ekspresi seni, penampilan itu justru mendapat kritik keras karena dinilai menodai nilai luhur budaya Bali yang selama ini dijunjung tinggi.
Tak tinggal diam, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Provinsi Bali mengambil langkah cepat dengan memanggil Gek Wik untuk dilakukan pembinaan langsung.
“Itu bukan tarian joged, hanya menggunakan pakaian joged. Ini yang menjadi penekanan kami agar Gek Wik dan penari lainnya tidak melakukan hal serupa. Kita harus menjaga citra seni dan budaya kita yang adiluhung,” ujar Kepala Satpol PP Provinsi Bali, I Dewa Nyoman Rai Dharmadi, pada Senin (19/5/2025).
Baca Juga:
Penari Joget Bumbung Dipanggil Satpol PP Usai Viral, Dianggap Erotis!
Viral Battle Sound Horeg di Laut, Pengamat Sebut Bisa Mengancam Nyawa Satwa Laut!
Lakukan Pembinaan
Menurut Dharmadi, Satpol PP belum melangkah ke ranah hukum atau sanksi administratif, namun fokus pada pembinaan edukatif. Namun, ia memberi catatan serius terhadap kemungkinan sanksi jika kejadian serupa terulang.
“Ini belum kami sampai ke sana, tapi lebih kepada pembinaan dulu. Tapi catatan ke depan, kalau saja kami dapati hal seperti ini pada yang lain, termasuk Gek Wik juga,” tegasnya.
Langkah ini diambil sebagai bentuk komitmen menjaga martabat seni tradisi Bali, sekaligus menghindari penyalahgunaan panggung budaya sebagai ajang viral semata. Dalam konteks kekinian, di mana seni mudah dibelokkan untuk konten media sosial, peran edukasi budaya menjadi sangat penting.
Selain pembinaan terhadap individu, Dharmadi juga menyoroti pentingnya peran desa adat dalam mengatur etika pementasan seni oleh warganya. Ia mengusulkan agar desa adat menerapkan perarem atau aturan adat yang tegas dalam menjaga kesakralan seni.
“Tentu ini menjadi salah satu konsen kami dengan para penglingsir kita, Bendesa Adat dan Majelis Desa Adat untuk membina kramo desa adatnya agar bisa melaksanakan, menjaga tradisi seni, budaya dan kearifan lokal kita,” tutupnya.
Kasus Gek Wik menjadi contoh nyata bagaimana batas antara seni budaya dan sensasi viral kini makin tipis. Ke depan, penting bagi para seniman dan masyarakat umum untuk memahami bahwa popularitas tidak boleh dibayar dengan hilangnya nilai kultural. Seni Joged bukan sekadar hiburan, tapi juga warisan budaya yang perlu dijaga keasliannya.
(Hafidah Rismayanti/Aak)