BANDUNG,TM.ID: Masa tenang Pemilu 2024 tetiba terguncang dengan tayangan film ‘Dirty Vote’ yang dirilis Koalisi Masyarakat Sipil.
Dirty Vote menjadi menempati tangga trending topic di platform media sosial X (twitter) pada 11 Februari 2024, atau tiga hari menjelang pencoblosan Capres-Cawapres dan Calon Angota Legislatif (Caleg) 2024, 14 Februari.
Film bergenre dokumenter bertopik politik Pemilu 2024 ini mengupas tuntas mengenai kecurangan penguasa yang ingin menjalankan status quo-nya.
Koalisi Masyarakat Sipil merilis film dokumenter berjudul Dirty Vote atau Pemilu Kotor itu mengupas tentang kecurangan pemilu 2024 yang sudah didesain sebelumnya.
Film Dirty Vote tayang hari ini, Minggu (11/2/2024) pada pukul 11.00 WIB yang mengambil mementum tanggal 11 Februari, di kanal Youtube Dirty Vote.
Dirty Vote berisi tentang paparan dari tiga ahli hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Mereka dengan sudut pandang yang berbeda mengungkap fakta berbagai instrumen kekuasaan telah dijadikan alat untuk tujuan memenangkan pemilu. Sang penguasa seolah tak peduli, meski dalam prosesnya harus mengacak-acak tatanan demokrasi.
Dalam keterangannya, Bivitri Susanti menjelaskan, film Dirty Vote adalah sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara, di mana kekuasaan disalahgunakan dengan begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.
BACA JUGA: Film Dirty Vote Bikin Kubu Prabowo Gibran Gerah, Kenapa ya?
Ia menyimpulkan dua hal, pertama tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tetapi bagaimana pemilu itu berlangsung.
Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi.
“Saya mau terlibat dalam film ini karena banyak orang yang akan makin paham bahwa memang telah terjadi kecurangan yang luar biasa, sehingga pemilu ini tidak bisa dianggap baik baik saja,” ujar Bivitri, mengutip tayangan YouTube Dirty Vote.
Kedua, lanjut dia, tentang kekuasaan yang disalahgunakan karena nepotisme yang haram hukumnya dalam negara hukum yang demokratis.
Ia pun mengingatkan soal sikap publik, apakah praktik lancung ini akan didiamkan saja, sehingga demokrasi yang berorientasi kekuasaan belaka akan menjadi normal yang baru?
“Atau kita bersuara lantang dan bertindak agar republik yang kita cita-citakan terus hidup dan bertumbuh. Pilihan Anda menentukan,” tegasnya.
Sementara Feri Amsari mengatakan, esensi pemilu adalah rasa cinta tanah air, yang akan rusak jika membiarkan kecurangan pemilu terjadi.
“Selain diajak oleh figurfigur yang saya hormati, tentu saja film ini dianggap akan mampu mendidik publik betapa curangnya pemilu kita, dan bagaimana politisi telah memainkan publik, memilih hanya untuk kepentingn mereka,” tegas Feri.
Rezim yang menjadi obyek pembahasan dalam film tersebut, kata Feri, seolah lupa bahwa kekuasaan itu sejatinya ada batasnya, tidak pernah ada kekuasaan yang abadi.
“Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” jelas Feri.
Film Dirty Vote disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono. Dia menjelaskan film itu digarap dalam waktu sekitar 2 minggu, yang mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis.
Pembuatannya, dia menambahkan, melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
(Aak)