BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Pengibaran bendera bajak laut dari serial One Piece menjelang HUT RI ke-80 memicu perdebatan sengit antara pakar hukum dan pejabat pemerintah. Dua narasi bertolak belakang muncul mengenai status hukum dan makna filosofi bendera bergambar tengkorak ini.
Beberapa pakar hukum menilai, merujuk pada UU No. 24/2009 tentang Bendera Negara, tidak ada larangan pengibaran bendera bajak laut One Piece.
Namun pandangan ini bertolak belakang dengan pernyataan Menteri HAM Natalius Pigai yang menyebut pengibaran bendera tersebut sebagai bentuk makar jika disandingkan dengan bendera nasional.
“Pelarangan pengibaran bendera One Piece adalah upaya penting menjaga simbol-simbol nasional sebagai wujud penghormatan terhadap negara,” tegas Pigai.
Makna Filosofis di Balik Jolly Roger
Dalam dunia One Piece karya Eiichiro Oda, bendera Jolly Roger bukan sekadar lambang bajak laut. Bendera kru Topi Jerami milik Monkey D. Luffy misalnya, menampilkan:
- Tengkorak dengan topi jerami pemberian Shanks
- Senyuman lebar simbol kebahagiaan
- Tulang bersilang penanda identitas bajak laut
“Bendera ini merepresentasikan nilai-nilai kebebasan, persahabatan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan,” jelas Hurilik, salah satu karakter dalam cerita.
Fungsi Strategis dalam Narasi One Piece
Bendera dalam serial ini memiliki peran multifungsi:
- Identitas kru (contoh: bekas luka di bendera Shanks)
- Alat psikologis (bendera Kaido untuk menebar teror)
- Simbol perjuangan (bendera Sun Pirates untuk bekas budak)
BACA JUGA
Pemkot Bakal Tindak Tegas Warga Bandung yang Kibarkan Bendera Bajak Laut One Piece
Ingin Kibarkan Bendera One Piece saat HUT RI? Ingat Ada Aturannya
Bendera One Piece: Media Kritik Sosial Jelang HUT RI
Maraknya pengibaran bendera bajak laut dari serial “One Piece” di berbagai lokasi menjelang peringatan HUT RI ke-80 memantik diskusi publik.
Di samping makna filosofi bendera One Pice, fenomena pengibaran bendera bajak laut ini dinilai merupakan kritik sosial-politik ketimbang ancaman kedaulatan.
Aksi ini dianggap sebagian kalangan sebagai bentuk protes terhadap kondisi sosial-politik, sementara pihak lain mengkhawatirkan dampaknya terhadap penghormatan simbol negara.
Dr. Ade Marup Wirasenjaya, Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menyoroti fenomena ini sebagai ekspresi simbolis masyarakat.
Ia menegaskan bendera Merah Putih tetap harus dihormati sebagai lambang negara, namun pengibaran bendera One Piece perlu dipahami sebagai bentuk kekecewaan terhadap realitas politik.
“Fenomena ini lebih merupakan kritik sosial-politik ketimbang ancaman kedaulatan. Selama bendera One Piece tidak diposisikan lebih tinggi dari Merah Putih, ini murni ekspresi protes terhadap ketimpangan sosial dan dominasi kekuasaan,” jelas Ade, mengutip laman resmi UMY, Selasa (5/8/2025).
Menurutnya, aksi ini muncul karena ruang kritik konvensional dinilai semakin sempit. Masyarakat memanfaatkan momentum HUT RI yang sarat makna untuk menyampaikan pesan:
“Kemerdekaan jangan sampai hanya dinikmati segelintir elit. Istilah ‘bajak laut’ di sini menjadi sindiran tajam terhadap pembajakan makna kemerdekaan oleh penguasa.”
Ade menekankan pentingnya membedakan antara perlindungan simbol negara dan penangkapan pesan kritik.
“Regulasi tentang bendera negara sudah jelas, pemerintah perlu intensifkan sosialisasi. Tapi fenomena ini juga harus dibaca sebagai ekspresi budaya pop yang mengandung kritik substantif,” paparnya.
Ia mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak pada penanganan simbol semata, melainkan merespons substansi kritik yang disampaikan masyarakat melalui cara-cara kreatif ini.
“Masyarakat masih mencintai negeri ini. Justru karena itu mereka menyuarakan keprihatinan melalui bahasa simbol yang mereka pahami,” pungkas Ade.
Dengan HUT RI ke-80 menjelang, polemik ini diperkirakan akan terus memanas. Baik pihak pro maupun kontra sepakat bahwa dialog terbuka lebih produktif daripada saling melaporkan ke ranah hukum.
(Aak)