JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Daftar orang terkaya serta konglomerat Indonesia tidak hanya sekadar angka di majalah keuangan. Melainkan menjadi cermin perubahan ekonomi, politik, dan arah zaman Tanah Air. Selama 80 tahun Indonesia merdeka, peta konglomerat nasional telah berputar dari taipan Orde Baru yang berkelindan dengan kekuasaan, terpukul krisis moneter, hingga munculnya wajah baru yang kini menguasai sektor perbankan, energi, dan teknologi.
Pada dekade 1970–1990-an, konglomerasi besar tumbuh di bawah naungan politik Presiden Soeharto. Nama Liem Sioe Liong dengan Salim Group mengendalikan Indofood hingga BCA, Eka Tjipta Widjaja membangun Sinar Mas, sementara William Soeryadjaya mendirikan Astra International.
Ada pula figur seperti Bob Hasan sang “raja kayu” yang dekat dengan Cendana, serta Probosutedjo dan Sudwikatmono yang memanfaatkan jejaring kekuasaan untuk menanamkan bisnis hutan, bioskop, hingga properti. Kekayaan saat itu lebih banyak soal akses siapa yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.
Krisis 1997/1998: Ujian Bagi Taipan
Krisis moneter menghantam telak. Rupiah ambruk, utang dolar menjerat, dan banyak kerajaan bisnis runtuh. Salim kehilangan BCA, sejumlah nama besar lenyap dari radar, dan lanskap bisnis Indonesia tak lagi sama.
Namun dari reruntuhan itulah muncul wajah-wajah baru yang bertahan. Keluarga Riady dengan Lippo, Gudang Garam milik keluarga Wonowidjojo, hingga Sampoerna yang kemudian menjual saham rokoknya ke Philip Morris, semua tetap eksis meski terpukul krisis.
Memasuki 2000-an, peta orang kaya Indonesia berubah drastis. Forbes mulai rutin merilis daftar konglomerat RI, dan wajah baru bermunculan.
Di puncaknya, dua bersaudara Robert Budi dan Michael Hartono mengambil alih sorotan. Usai krisis, mereka menjadi pemilik mayoritas Bank Central Asia (BCA), di samping gurita bisnis Djarum Group. Sejak itu, dominasi Hartono bersaudara hampir tak tergoyahkan dalam daftar kekayaan nasional.
Data Terkini Forbes 2024
Menurut daftar terbaru Forbes Indonesia’s 50 Richest 2024, total kekayaan konglomerat RI melonjak ke US$263 miliar.
- Robert Budi Hartono: US$25,3 miliar
- Michael Hartono: US$25,1 miliar
- Prajogo Pangestu (Barito Pacific, energi & petrokimia): US$32,5 miliar
- Low Tuck Kwong (batu bara Bayan Resources): US$27 miliar
Meski Prajogo sempat menyalip, Hartono bersaudara tetap kokoh sebagai “duo” konglomerat paling berpengaruh, berkat stabilitas BCA dan diversifikasi portofolio bisnisnya.
Baca Juga:
Diluncurkan pada HUT Ke-80 RI, QRIS Resmi Bisa Dipakai di Jepang
Pemerintah Tambah Kuota Rumah Subsidi Khusus Buruh, Jadi 50 Ribu Unit!
Tren Baru: Dari Komoditas ke Teknologi
Perubahan daftar konglomerat tidak hanya ditentukan oleh harga saham atau kurs dolar. Ia juga mencerminkan tren industri:
- 1990-an: Orde Baru kaya lewat kayu, semen, dan agribisnis.
- 2000-an: Batubara, minyak sawit, dan bank menjadi mesin kekayaan.
- 2020-an: Energi terbarukan, petrokimia, dan teknologi finansial mulai melahirkan miliarder baru.
IPO perusahaan teknologi, lonjakan harga komoditas, hingga strategi merger & akuisisi membuat wajah-wajah baru masuk radar.
Bergesernya nama-nama konglomerat Indonesia menunjukkan satu hal: kekayaan di negeri ini selalu menjadi refleksi dari politik, pasar, dan momentum global. Dari era proteksi Orde Baru, hantaman krisis, hingga keterbukaan pasar modal dan era digital, peta orang kaya RI adalah peta perjalanan ekonomi bangsa.
(Dist)