BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Sisingaan adalah kesenian tradisional khas Kabupaten Subang yang biasa ditampilkan dalam acara khitanan, penyambutan tamu, hingga festival budaya. Kesenian ini ditandai dengan atraksi boneka singa besar yang diusung oleh empat orang, sambil diiringi musik tradisional Sunda. Dalam praktiknya, Sisingaan tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga mengandung nilai-nilai sejarah, identitas budaya, dan simbol perlawanan terhadap dominasi budaya luar pada masa kolonial.
Kesenian ini berkembang pada masa pemerintahan kolonial Belanda, ketika parade-parade hiburan dari luar negeri mulai diperkenalkan di wilayah Subang. Masyarakat setempat lalu menciptakan bentuk hiburan tandingan yang sarat makna lokal dan simbolik. Dalam penelitian Junaedi dkk. (2017), disebutkan bahwa Sisingaan merupakan respons kreatif masyarakat dalam menjaga identitas budaya di tengah gempuran pengaruh asing. Semangat kemandirian budaya ini juga bergema di daerah sekitarnya, termasuk wilayah Bandung yang memiliki ragam kesenian rakyat serupa.
Baca Juga:
4 Nilai Strategis Kesenian Tarawangsa yang Masuk Kategori Warisan Budaya Takbenda
Kesenian Sampyong Majalengka: Transformasi dari Permainan Ujungan
Ciri khas utama Sisingaan adalah boneka berbentuk singa yang diangkat oleh empat orang pengusung. Di atasnya, biasanya duduk seorang anak laki-laki yang sedang merayakan khitanan. Anak tersebut diarak berkeliling kampung sebagai bentuk perayaan sosial. Namun, lebih dari itu, simbol singa dalam Sisingaan memiliki makna yang dalam. Dalam kajian Rachmawaty (2013), singa dianggap sebagai lambang keberanian, kekuatan, dan semangat rakyat dalam menghadapi tekanan, baik dari luar maupun dari sistem sosial yang menekan.
Di Bandung Raya, terutama di kawasan perbatasan seperti Lembang dan Cikalongwetan, Sisingaan juga sesekali tampil dalam acara budaya lintas daerah. Meskipun tidak sepopuler Reak atau Benjang di kawasan Bandung Timur, kehadiran Sisingaan tetap dikenal dan dihargai sebagai bagian dari kekayaan budaya Sunda. Penampilan lintas wilayah ini memperkuat posisi Sisingaan sebagai kesenian yang mampu menembus batas administratif dan menjadi milik bersama masyarakat tatar Priangan.
Selain menjadi sarana perayaan, Sisingaan juga menunjukkan kualitas estetika yang kuat. Iringan musik tradisional seperti kendang, suling, dan gong mengiringi setiap gerakan para pengusung. Mereka tidak hanya berjalan, tetapi menampilkan koreografi seperti memutar, melompat, hingga mengangkat boneka ke udara, menciptakan suasana meriah dan atraktif yang melibatkan partisipasi warga secara langsung.
Dalam konteks khitanan, Sisingaan punya fungsi sosial yang lebih luas. Fatimah (2003) menjelaskan bahwa tradisi ini menjadi bagian dari proses transisi sosial anak laki-laki menuju kedewasaan. Duduk di atas singa bukan hanya simbol selebrasi, tetapi juga bentuk pengakuan sosial terhadap status barunya sebagai bagian dari warga yang telah “dewasa” secara adat. Prosesi ini menjadi momentum penting dalam perjalanan hidup anak dan keluarganya.
Seiring waktu, Sisingaan tak lagi terbatas pada perayaan khitanan. Pertunjukan ini mulai masuk ke dalam berbagai acara kebudayaan daerah, penyambutan tamu resmi, hingga tampil di ajang seni tingkat provinsi dan nasional. Pemerintah Kabupaten Subang juga mulai aktif mempromosikan Sisingaan sebagai identitas budaya lokal dan bagian dari potensi wisata daerah. Tak jarang, dalam festival budaya Jawa Barat yang digelar di Bandung, kelompok-kelompok Sisingaan turut ambil bagian dan mencuri perhatian.
Namun demikian, pelestarian Sisingaan tetap menghadapi tantangan. Pergeseran minat generasi muda, kurangnya dukungan infrastruktur kesenian, dan gempuran budaya populer membuat eksistensinya berada di persimpangan. Beberapa kelompok kesenian mengeluhkan keterbatasan peralatan, minimnya panggung, serta tidak adanya pelatihan berkelanjutan.
Meski begitu, masih banyak komunitas seni lokal yang tetap konsisten menjaga keberlangsungan Sisingaan. Mereka rutin mengadakan latihan, menyelenggarakan pertunjukan di desa-desa, hingga mendokumentasikan setiap kegiatan melalui media sosial. Bahkan, beberapa sekolah mulai memasukkan kesenian Sisingaan dalam kegiatan ekstrakurikuler budaya.
Bagi masyarakat Subang dan sebagian wilayah Bandung, Sisingaan bukan sekadar tontonan. Ia adalah warisan budaya yang mempererat hubungan antarwilayah dan generasi. Ia juga menjadi pengingat bahwa seni tradisional punya peran penting dalam membangun identitas, membentuk solidaritas, dan menjaga kesinambungan nilai-nilai lokal.
Penulis:
Daniel Oktorio Saragih
Jurusan : Ilmu Komunikasi
Universitas Informatika Dan Bisnis Indonesia (UNIBI)