JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Pada 11 Mei 2024, sejumlah wilayah di Provinsi Sumatera Barat, meliputi Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang Panjang, dan Kota Padang, dilanda banjir bandang dan longsor.
Banjir bandang yang dikenal sebagai galodo, disebabkan oleh lahar hujan dari erupsi Gunung Marapi. Galodo adalah aliran sungai yang membawa campuran pasir, kerikil, batu, dan air dengan kecepatan tinggi, terjadi ketika kekuatan aliran air melebihi kekuatan yang menahan sedimen tersebut
Tim peneliti dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang dipimpin oleh Dr. Sri Maryati, SE, MSi, melakukan penelitian dampak sosial ekonomi bencana terhadap penawaaran tenaga kerja di Kabupaten Agam dengan menganalisis data primer yang didapatkan melalui survey ke lapangan.
Adapun daerah yang dipilih sebagai wilayah penelitian adalah kecamatan IV Koto, Kecamatan Sungai Puar dan Kecamatan Candung. Survey dilakukan pada tanggal 12 Oktober 2024, bertepatan lima bulan sejak peristiwa Galodo melanda daerah ini.
“Masih tampak bekas-bekas galodo di wilayah ke tiga kecamatan, dan masih banyak keluhan yang disampaikan oleh Masyarakat yang terdampak bencana ini. Beberapa diantaranya kami rangkup dalam tulisan ini,” kata Sri Maryati kepada Teropongmedia.id, Kamis (31/10/2024).
Dampak Galodo Terhadap Kondisi Ekonomi Masyarakat
Menurut European Commission for Latin America and Caribbean (ECLAC) dampak bencana secara ekonomi dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok (Artiani, 2011) diantaranya :
“Kerusakan langsung (direct damages), adalah semua kerusakan pada aset tetap, modal dan persediaan barang jadi dan setengah jadi, bahan baku dan suku cadang yang terjadi secara bersamaan sebagai konsekuensi langsung akibat terjadinya bencana,” jelas Sri Maryati.
Sri Maryati menyebutkan,kerusakan tidak langsung (indirect damages), merupakan dampak bencana yang lebih ditekankan pada terjadinya hambatan arus barang dan jasa karena terganggunya proses produksi setelah bencana. Kerusakan tidak langsung ini dapat meningkatkan pengeluaran operasional karena rusaknya infrastruktur.
Dampak sekunder (secondary effect), adalah dampak bencana pada kinerja ekonomi secara keseluruhan yang diukur melalui variabel ekonomi makro. Variabel yang relevan diantaranya dalah Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang mencakup keseluruhan nilai produksi dari wilayah terkena bencana.
“Dampak sekunder ini tidak hanya dirasakan pada tahun fiskal dimana bencana terjadi, namun memungkinkan untuk berdampak pada tahun fiskal selanjutnya,” ucapnya.
Adapun nilai kerugian sementara akibat banjir badang dan galodo di enam kabupaten kota di Sumatera Barat mencapai Rp 515.666.010.533,-. Dari enam kabupaten kota yang terparah adalah Tanah Datar yang kerugiannya mencapai Rp 259.181.663.000,-.
Disusul Agam yang kerugiannya mencapai 197.610.497.553,-. Sementara empat daerah lainnya menyusul masing-masing Kab. 50 Kota, Kota Padang Panjang, Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang. Hal ini disampaikan oleh Sekda Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 7 Juni 2024 saat melakukan jumpa pers.
Akibat banjir dan galodo ini, sebanyak 4.064 orang terpaksa mengungsi, sejumlah 1.210 unit Rumah terdampak, 15 unit sarana pendidikan, sarana kesehatan 2 unit dan tempat ibadah 28 unit, sarana perdagangan 227 unit, irigasi 1.202 unit, PDAM/Pamsimas 23 unit, jembatan 55 unit dan bangunan lainnya 2 unit.
Tim peneliti menemukan , kerugian terbesar dari para korban di wilayah kabupaten Agam adalah dalam bentuk asset non keuangan, seperti rumah, kendaraan, tempusaha, baik dalam bentuk lahan maupun gedung serta peralatan produksi.
“Akibatnya mereka kehilangan pekerjaan dan berdampak pada penurunan pendapatan, dimana secara rata-rata penurunan pendapatan menacai 45% dibandingkan kondisi sebelum bencana galodo terjadi,” bebernya.
Bahkan, setelah lima bulan berlalu, mereka belum dapat mengembalikan kondisi ekonomi keluarga, agar dapat memenuhi kebutuhan hidup, sebanyak 75% responden menyatakan menambah anggota keluarga yang bekerja untuk memperoleh pendapatan.
Hal ini menunjukkan bahwa ketahanan ekonomi rumah tangga korban bencana galodo masih sangat rapuh. Adapun anggota keluarga yang bekerja untuk menunjang pendapatan keluarga adalah istri, orang tua/mertua, anak-anak usisa di atas 10 tahun dan anak- anak usia di bawah 10 tahun serta kerabat lainnya.
Menurut dia, akibat bencana ini telah mendorong anak-anak dibahwa umur untuk bekerja membantu orang tua, yang semestinya mereka harus bersekolah, hal ini tentunya harus mendapat perhatian dari pihak terkait, terutama pemerintah daerah agar kondisi ini tidak berlangsung lama.
“Anak-anak ini harus kembali ke sekolah untuk dapat membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan agar di masa depan mereka mendapatkan kesempatan untuk bekerja secara layak sesuai tujuan SDGs terkait pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.
BACA JUGA: Basarnas: Korban Meninggal Banjir Bandang Sumatera Barat 59 Orang
Dampak Galodo Terhadap Kondisi Sosial Masyarakat
Aspek sosial yang menjadi perhatian dalam kajian ini adalah aspek Pendidikan dan Kesehatan. Hasil temuan di lapangan memperlihatkan Galodok lebih berdampak buruk terhadap Pendidikan anggota rumah tangga korban bencana dibandingkan dengan kondisi Kesehatan. Hal ini disebabkan lebih banyaknya Gedung sekolah yang terdampak, salah satu diantaranya dalah SDN 03 Koto Tuo, Kecamatan IV Koto.
“Dimana hingga tim peneliti turun ke lapangan pada tanggl 12 Oktober lalu, siswa SD ini harus menumpang belajar ke Gedung Madrasah Muhammadiyah yang berjarak sekitar 5 kilometer dari lokasi sekolah, karena Gedung sekolahnya habis tak bersisa akibat Galodo yang terjadi,” tutupnya.
(Agus Irawan/Usk)