BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Di tengah gempuran konten cepat saji, siapa sangka puisi tradisional Sunda masih punya tempat tersendiri di hati masyarakat. Salah satunya adalah Pupuh Pucung, bentuk pupuh yang kerap dipakai untuk wejangan dengan isi lirik yang santai tapi ‘ngena’.
Sejarah Pupuh Pucung
Pupuh Pucung bukan barang baru di dunia sastra Sunda. Nama “pucung” sendiri diyakini berasal dari istilah dalam sastra Jawa Kuno yang berarti ‘taman’ atau ‘kebun kecil’, tempat orang mencari ketenangan dan merenung.
Di masyarakat Sunda, Pupuh Pucung sering muncul dalam naskah kuno dan digunakan untuk menyampaikan petuah atau sindiran halus, terutama soal budi pekerti.
Seiring waktu, Pupuh Pucung tetap eksis karena gaya bahasanya yang lugas dan isi makana yang mudah dicerna. Cocok banget jadi media edukasi sejak zaman karajaan sampai sekarang di sekolah-sekolah atau acara budaya.
Pengertian Pupuh
Pupuh adalah puisi lama Sunda yang setiap baitnya terikat oleh aturan jumlah suku kata (guru wilangan) dan vokal akhir (guru lagu). Untuk Pupuh Pucung, setiap bait terdiri dari 4 baris dengan pola sebagai berikut:
12-u, 6-a, 8-i, 8-a
Jangan salah, aturan ini bukan buat ribet-ribetan, tapi justru bikin nadanya khas dan enak dihapal—makanya banyak dipakai dalam tembang dan dongeng Sunda.
Contoh Lirik Pupuh Pucung Sunda
Contoh 1
Tong poho eling ka diri (12 – u)
Sangkan ulah leumpang salah (6 – a)
Kudu jujur dina lampah (8 – i)
Taya gunana tipu daya (8 – a)
Contoh 2
Ulah gampang kabita dunya (12 – u)
Harta taya nu langgengna (6 – a)
Kudu inget waktu hirup (8 – i)
Tong neunggeul batur sabab harta (8 – a)
(Daniel Oktorio Saragih/Magang/Aak)