JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah membahas rencana untuk menyamakan harga jual gas LPG 3 Kg di seluruh Indonesia, melalui rencana kebijakan LPG 3 Kg Satu Harga.
Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung menyatakan, bahwa pemerintah menargetkan kebijakan LPG 3 Kg Satu Harga bakal diberlakukan pada tahun 2026 mendatang.
Kebijakan tersebut akan tertuang melalui revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 Kg.
“Kan pengaturan yang disampaikan sama Pak Menteri tadi kan targetnya tahun depan,” kata Yuliot di Gedung DPR RI, Jakarta, pada kamis (3/7/2025).
Nantinya, skema LPG 3 Kg satu harga dijalankan bakal mirip dengan skema BBM non subsidi Pertamax. Dia mengatakan harga LPG di tiap daerah ditentukan berdasarkan biaya transportasinya.
“Ini hampir sama dengan Pertamax. Setiap daerah itu kan berbeda. Jadi ditetapkan berdasarkan wilayah,” katanya.
Kebijakan ini dibuat lantaran banyaknya pengecer yang menjual dengan harga tinggi. Bahkan ada yang mencapai Rp 50.000 per tabung dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan mencapai Rp 14.000 – Rp 16.000-an per tabung.
Baca Juga:
Cadangan Devisa Naik Tipis Akhir Juni, Capai US$152,6 Miliar
Sebagai informasi, usulan kebijakan ini dilontarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia saat Rapat Kerja bersama Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Rabu (2/7/2025).
“Kami akan mengubah beberapa metode agar kebocoran ini tidak terjadi, termasuk harga yang selama ini diberikan kepada daerah. Kita dalam pembahasan Perpres, kita tentukan saja satu harga supaya jangan ada gerakan tambahan di bawah,” ungkap Bahlil.
Revisi Perpres 104/2007 tersebut, jelas Bahlil, diharapkan mampu menyederhanakan rantai pasok dan memastikan subsidi tepat sasaran ke pengguna yang berhak menerima LPG.
Hal itu juga ditujukan agar harga di konsumen akhir tidak lagi bervariasi dan secara berlebihan antarwilayah serta sesuai dengan alokasi yang ditetapkan pemerintah, yaitu jumlah konsumsi per pengguna.
Salah satu faktor utama adalah adanya ketidakseimbangan antara anggaran subsidi yang disediakan negara dengan realisasi di lapangan bahkan membuka celah kebocoran kuota dan rantai pasok yang panjang.
“Kalau harganya dinaikkan terus, antara harapan negara dengan apa yang terjadi tidak sinkron,” tegas Bahlil.
(Dist)