BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Dalam dunia bisnis, khususnya yang melibatkan transaksi internasional, pemahaman yang tepat mengenai kedudukan dan penggunaan bahasa asing dalam kontrak perjanjian sangat krusial.
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur syarat sahnya perjanjian kontrak, namun perkembangan bisnis global menuntut penggunaan bahasa asing, terutama Bahasa Inggris.
Di Indonesia, penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian diatur oleh UU No. 24 Tahun 2009 dan Perpres No. 63 Tahun 2019.
Aturan Hukum Penggunaan Bahasa Indonesia
UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, dan Perpres No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia secara tegas mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan:
- Lembaga negara
- Instansi pemerintah Republik Indonesia
- Lembaga swasta Indonesia
- Perseorangan warga negara Indonesia
Namun, untuk mengakomodasi perjanjian dengan pihak asing, UU No. 24 Tahun 2009 Pasal 31 ayat (2) mengizinkan penambahan bahasa nasional pihak asing atau Bahasa Inggris.
Bahasa asing ini berfungsi sebagai terjemahan Bahasa Indonesia untuk memastikan pemahaman bersama. Jika terjadi perbedaan penafsiran, bahasa yang disepakati dalam perjanjian akan menjadi acuan.
Praktik dan Pertimbangan dalam Perjanjian dengan Pihak Asing
Meskipun Bahasa Indonesia wajib, perjanjian dengan pihak asing sebaiknya juga disusun dalam bahasa asing (bahasa nasional pihak asing atau Bahasa Inggris). Hal ini penting untuk menghindari kesalahpahaman dan sengketa di kemudian hari.
BACA JUGA : Hobi Cosplay, Jadi Peluang Bisnis yang Menguntungkan?
Pentingnya Ahli Bahasa Tersumpah
Penggunaan dua bahasa dalam perjanjian memerlukan kehati-hatian dan keakuratan terjemahan. Menggunakan jasa ahli bahasa tersumpah sangat disarankan untuk memastikan terjemahan yang akurat dan mencegah perbedaan penafsiran.
Menghindari Istilah Asing
Penggunaan istilah asing yang tidak dipahami oleh semua pihak sebaiknya dihindari untuk mencegah ambiguitas dan potensi kerugian.
Perjanjian bisnis yang tidak memuat versi Bahasa Indonesia, setelah berlakunya UU No. 24 Tahun 2009, dapat dianggap bertentangan dengan hukum dan tidak sah karena tidak memenuhi syarat sah perjanjian.
(Hafidah Rismayanti/Budis)