CIAMIS, TEROPONGMEDIA.ID — Di kaki Gunung Sawal, Kabupaten Ciamis, ada situs yang diam-diam menyimpan salah satu jejak paling penting dari sejarah Kerajaan Sunda: Astana Gede Kawali. Meski lebih dikenal sebagai objek wisata budaya, tempat ini menyimpan prasasti-prasasti kuno yang justru memberi gambaran paling jelas soal pusat pemerintahan dan keyakinan spiritual Kerajaan Sunda pada abad ke-14.
Salah satu peninggalan terpenting di situs ini adalah Prasasti Kawali atau yang sering disebut juga Prasasti Astana Gede. Ditulis dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno, prasasti ini diyakini berasal dari masa pemerintahan Prabu Niskala Wastu Kancana, salah satu raja paling disegani dalam sejarah kerajaan.
Dalam kajian Saptono (1994), prasasti ini berfungsi sebagai piagam peringatan sekaligus simbol kekuasaan yang menekankan nilai kerohanian dan perlindungan terhadap tempat suci.
Isi prasasti Kawali tidak panjang, tapi padat makna. Di dalamnya tercantum informasi bahwa sang raja telah membangun kembali keraton yang rusak, memperkuat sistem pertahanan, dan—yang paling menarik—menetapkan larangan untuk merusak kawasan suci.
Larangan ini ditulis dalam bentuk kutukan simbolik bagi siapa pun yang berani melanggar. Artinya, Astana Gede sejak dulu bukan sekadar pusat administrasi, tapi juga kawasan yang dikeramatkan oleh kerajaan.
Situs Astana Gede sendiri terdiri dari beberapa struktur batu besar, nisan tanpa nama, serta susunan batu yang disebut masyarakat sebagai “astana” (makam para raja). Tapi, hingga kini, belum ada bukti arkeologis kuat bahwa itu benar-benar makam. Sebaliknya, banyak ahli justru menilai kawasan itu sebagai tempat peribadatan atau pertapaan spiritual, mengingat kuatnya pesan religius yang tertera dalam prasasti.
Menariknya, situs ini juga punya peran penting dalam pembangunan identitas budaya Sunda di masa modern. Berdasarkan laporan Dharyanto (2024), Pemerintah Kabupaten Ciamis sudah mulai mendorong pengembangan Astana Gede sebagai wisata budaya dan edukasi sejarah.
Program-program revitalisasi, seperti perbaikan jalur wisata, pembentukan pemandu lokal, dan pembuatan narasi sejarah populer, menjadi bagian dari upaya agar situs ini tidak hanya jadi tempat ziarah sunyi, tapi juga ruang belajar sejarah bagi generasi muda.
BACA JUGA
Ekskavasi Bawah Air Situs Soasio Tidore Ungkap Jejak Perdagangan Rempah Abad ke-17
Tim Ahli dan Peneliti Dalam Negeri Kaji Ulang Situs Gunung Padang
Namun tetap saja, dibandingkan dengan popularitas situs lain seperti Candi Prambanan atau Trowulan, nama Astana Gede masih tertinggal jauh. Padahal, kalau menengok ke masa lalu, tempat ini bisa dibilang setara pentingnya—karena ia mencerminkan bagaimana Kerajaan Sunda menyatukan kekuasaan dan spiritualitas dalam satu ruang suci.
Jadi, kalau kamu penasaran ingin melihat “keraton” Sunda tempo dulu tanpa harus pergi ke Pakuan Pajajaran yang sudah hilang, mungkin inilah saatnya melirik Kawali, Ciamis. Di sanalah, jejak raja Sunda masih terasa dari batu-batu yang bisu, tapi tak pernah bohong tentang sejarah.
Sumber: Saptono, N, Berkala Arkeologi; Dharyanto, T. (2024), JKDB: Jurnal Konservasi dan Budaya.
(Daniel Oktorio Saragih/Magang/Aak)