JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Revisi UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, dan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji, terbilang mendesak mengingat perubahan aturan haji dari otoritas Arab Saudi.
Revisi UU Haji tersebut menjadi satu dari lima rekomendasi Pansus Hak Angket Haji DPR RI dalam Sidang Paripurna DPR ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025 di Senayan, Jakarta, Senin (30/9/2024).
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Singgih Januratmoko menegaskan, kondisi kekinian yang terjadi dalam regulasi dan model pelaksanaan ibadah haji yang ada di Arab Saudi harus menjadi perhatian penting.
“Revisi perlu untuk menyesuaikan kondisi terkini dalam pelaksanaan haji,” kata Singgih, mengutip Parlementaria, Minggu (27/10).
Singgih mengatakan, revisi tersebut perlu untuk menyesuaikan kebijakan pemerintah Arab Saudi yang mulai menggunakan digitalisasi layanan haji.
Arab Saudi, menurutnya, semakin memperluas penggunaan teknologi digital dalam pelaksanaan haji, termasuk sistem pendaftaran elektronik, pembayaran digital, dan aplikasi berbasis teknologi.
“Regulasi Indonesia perlu menyesuaikan agar calon jemaah haji bisa terintegrasi secara lancar dengan kebijakan baru di Arab Saudi,” kata Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Dikatakan, revisi penting karena terdapat perubahan kuota dan syarat pelaksanaan haji. Arab Saudi banyak melakukan perubahan kuota haji, persyaratan kesehatan, dan ketentuan lain, termasuk batasan usia dan pembatasan jumlah jemaah selama pandemi.
Revisi UU ini, kata Singgih, bisa memperbarui ketentuan yang berkaitan dengan pendaftaran, antrian, dan prioritas calon jamaah sesuai dengan kebijakan baru.
Singgih juga menilai revisi perlu untuk mengatur investasi dana haji. Investasi ini penting untuk mengakomodasi tata kelola dana haji yang lebih transparan dan efisien.
Dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) selama ini diinvestasikan untuk menghasilkan manfaat bagi jemaah.
Namun, Singgih menilai, perlu ada pembaruan dalam aspek pelaporan keuangan, pilihan investasi yang lebih aman, serta peningkatan keuntungan demi kesejahteraan jemaah.
Revisi juga perlu untuk mengatur subsidi biaya haji. Menurut Singgih, adanya perubahan biaya haji yang cenderung meningkat, UU perlu meninjau kembali skema subsidi yang diberikan kepada calon jamaah.
“Termasuk bagaimana cara pengelolaan dana ini dapat dilakukan dengan lebih berkelanjutan,” kata Singgih.
Selain itu, revisi perlu untuk perbaikan kualitas pelayanan seperti transportasi, akomodasi, dan pelayanan kesehatan yang disesuaikan dengan perkembangan Arab Saudi.
UU Penyelenggaraan haji dan umrah perlu menyesuaikan standar pelayanan yang diberikan kepada jamaah haji, mulai dari pemilihan hotel, penyediaan makanan, hingga transportasi yang lebih nyaman dan aman.
“Regulasi juga harus memperbarui aturan terkait pemeriksaan kesehatan, asuransi kesehatan, dan dukungan medis di Arab Saudi, mengingat semakin ketatnya persyaratan kesehatan dari pemerintah Arab Saudi,” kata Singgih.
Singgih mengatakan, revisi juga perlu untuk menekankan pada transparansi biaya haji, seperti untuk tiket pesawat, akomodasi, makanan, transportasi lokal, dan biaya operasional lain. Bagi Singgih, ini penting untuk memastikan jemaah mengetahui alokasi dana yang mereka bayarkan.
BACA JUGA:Dugaan Kejanggalan Penambahan Kuota Haji Khusus, Timwas: Bentuk Pansus!
Revisi juga perlu untuk pengaturan haji khusus dan umrah. Menurut Singgih, regulasi harus memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai pengelolaan haji reguler dan haji khusus (atau haji plus).
Pengelolaan itu terutama terkait transparansi biaya dan layanan yang diberikan oleh pihak penyelenggara.
Tak hanya itu, Singgih menilai, revisi perlu untuk kebutuhan penyesuaian kuota dan prioritas antrian. Kuota dan antrian haji perlu segera diatur mengingat antrian haji yang panjang di Indonesia.
Menurut Singgih, diperlukan revisi untuk memperjelas aturan tentang bagaimana prioritas diberikan, terutama bagi lansia, mereka yang sudah pernah mendaftar tetapi tertunda, atau bagi mereka yang harus menunda keberangkatan karena kondisi tak terduga (seperti pandemi).
“Ini juga mengharuskan pemerintah mengpptimalisasi kuota haji. Revisi UU harus mempertimbangkan pengelolaan kuota secara lebih efisien dan berkeadilan, sehingga mengurangi ketimpangan dalam distribusi kuota antar daerah,” kata Singgih.
(Aak)