BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Dari ritel pinggir jalan sampai hotel bintang lima, botol air mineral hampir selalu hadir. Tapi di balik kesegaran yang tampak sederhana itu, tersimpan ladang emas yang menggoda para pengusaha Indonesia. Nggak tanggung-tanggung, sederet konglomerat indonesia rela “turun gunung” demi menguasai bisnis air minum dalam kemasan (AMDK). Pertanyaannya: kenapa para pengusaha besar ini begitu tergiur dengan bisnis yang kelihatannya cuma jual air?
Jawabannya sangat sederhana tapi menggiurkan, karena dalam bisnis air mineral tentunya dapat di lihat dari berbagai aspek menguntungkan yaitu biaya rendah, permintaan tinggi, dan pasar yang loyal. Produksi air kemasan relatif murah, margin keuntungannya sehat, dan konsumen jarang berpindah merek begitu mereka cocok.
Ditambah lagi, air adalah kebutuhan pokok yang dikonsumsi setiap hari. Artinya, bisnis ini nyaris tak pernah sepi. Ditambah dengan strategi distribusi yang kuat, sebuah merek bisa melejit dan mendominasi hanya dalam waktu singkat. Itulah sebabnya para konglomerat memandang bisnis ini bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai pilar baru pencetak cuan.
Baca Juga:
CEK FAKTA: Lowongan Kerja Le Minerale di Medsos
Heboh Kasus Penjualan Air Galon Bekas, Polisi Tegaskan Bukan Pemalsuan Produk
Salah satu pelopor besar di sektor ini adalah Tirto Utomo selaku pendiri Aqua, merek air mineral paling legendaris di Indonesia. Pada 1973, ketika orang masih terbiasa merebus air, Tirto justru menjual air dalam botol. Awalnya dicemooh, kini Aqua menjadi benchmark industri, menguasai pasar lewat ekosistem distribusi Danone dan kekuatan merek yang nyaris identik dengan “air mineral” itu sendiri. Tirto tak hanya menjual air, tapi mengubah perilaku masyarakat.
Masuk ke era kontemporer, ada Jogi Hendra Atmadja, bos besar Mayora Group, yang merilis Le Minerale. Merek ini hadir dengan pendekatan berbeda: rasa air yang diklaim “manisnya alami” dan branding kuat soal kesehatan. Meski sempat diragukan, Le Minerale sukses menggoyang dominasi Aqua lewat strategi diferensiasi rasa dan desain botol ergonomis yang mudah dikenali. Tak heran, Le Minerale kini bersaing di papan atas pasar AMDK nasional.
Di sisi lain, Hermanto Tanoko dari Avian Group yang mungkin lebih dikenal lewat cat tembok, tapi ia sukses mengubah Cleo menjadi salah satu pemain utama di air kemasan. Cleo menyasar ceruk berbeda: air demineralisasi alami dari pegunungan, diklaim lebih murni dan sehat untuk gaya hidup modern. Dengan pendekatan ilmiah dan positioning sebagai air berkualitas tinggi, Cleo menembus pasar tanpa harus head-to-head dengan merek lama.
Lalu ada Anthoni Salim, konglomerat di balik Indofood, yang memanfaatkan kekuatan distribusinya untuk mengangkat merek Club. Tanpa banyak iklan, Club merajai pasar lewat jaringan distribusi yang sudah eksis di seluruh pelosok Indonesia, dari warung kecil hingga minimarket besar. Ini bukti bahwa logistik dan akses ke pasar lebih menentukan ketimbang sekadar promosi.
Morgen Sutanto masuk ke segmen berbeda lewat Equil, air mineral premium yang dijual Rp26 ribu per 380 ml. Meskipun harganya tinggi, Equil tetap laku keras karena menyasar pasar hotel, restoran mewah, dan kalangan atas yang menginginkan kualitas plus prestige. Strategi ini membuat Equil tetap bertahan dengan pangsa pasar eksklusif dan margin tinggi.
Pemain lainnya seperti Fuganto Widjaja (Sinar Mas – Pristine), Husain Djojonegoro (ABC Group – Crystalline), dan Eddy William Katuari (Wings Group – Aquviva) juga tak mau ketinggalan. Masing-masing membawa kekuatan grup mereka utnuk menghasilkan keunggulan dari tiap produk, Pristine unggul lewat narasi air alkali sehat, Crystalline dikenal lewat jaringan distribusi ABC, sementara Aquviva memanfaatkan efisiensi produksi khas Wings Group.
Yang menarik, semua pemain besar ini tidak saling sikut karena mereka paham betul arena masing-masing. Mereka tak memaksakan satu strategi untuk semua pasar. Segmentasi dan diferensiasi jadi kunci utama. Aqua dan Club bermain di pasar massal, Equil di segmen premium, Le Minerale pada persepsi rasa dan kesehatan, Cleo di demineralisasi, dan Pristine di air alkali.
Itulah mengapa, meskipun terlihat seperti bisnis sederhana, industri air mineral punya ekosistem kompleks dan sangat strategis. Para konglomerat bermain bukan sekadar menjual air, tapi membangun sistem distribusi, produksi, brand awareness, dan loyalitas pasar. Airnya memang bening, tapi strategi bisnis di dalamnya sangat tajam dan terstruktur.
Bagi para konglomerat, air adalah simbol dari bisnis ideal karena murah diproduksi, dibutuhkan semua orang, loyal pasarnya, dan bisa dimainkan di semua segmen—dari rakyat kecil sampai pejabat hotel bintang lima. Maka jangan heran kalau setiap kamu minum dari botol, di baliknya ada strategi besar dan uang besar yang sedang mengalir deras.
Penulis:
Daniel Oktorio Saragih
Ilmu Komunikasi
Universitas Informatida dan Bisnis Indonesia (UNIBI)