BANDUNG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Dalam dekade terakhir, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah berkembang dari konsep futuristik menjadi realitas sehari-hari. Mahasiswa, khususnya di bidang Ilmu Komunikasi, mulai menjadikan AI sebagai bagian integral dalam proses belajar dan produksi konten. Dari penulisan naskah hingga analisis audiens, AI mampu mempercepat dan mempermudah kerja mereka.
Namun, apakah keberadaan AI semata-mata sebagai alat bantu, atau justru menyimpan ancaman yang belum sepenuhnya kita sadari? Artikel ini membahas potensi dan risiko kehadiran AI di lingkungan akademik, khususnya di kalangan mahasiswa komunikasi, dengan pendekatan semi-formal dan analisis akademik.
Evolusi Peran AI dalam Pendidikan Komunikasi
Penggunaan AI dalam pendidikan tidak lagi terbatas pada bidang teknik dan sains. Menurut Arly et al. (2023), mahasiswa komunikasi saat ini menggunakan AI untuk menyusun presentasi, menulis artikel, bahkan merancang kampanye komunikasi publik secara otomatis melalui perangkat seperti ChatGPT, Canva AI, dan Notion AI.
Transformasi ini menunjukkan bahwa AI telah menjadi bagian dari rutinitas akademik mahasiswa (Arly, 2023). Hal senada diungkapkan oleh Suartama (2025) yang menjelaskan evolusi tiga tahap peran AI dalam pembelajaran: AI-Directed, AI-Supported, dan AI-Empowered. Dalam konteks komunikasi, AI bukan sekadar alat bantu pasif, melainkan turut membentuk cara berpikir, menyampaikan pesan, dan berinteraksi secara digital (Suartama, 2025).
AI sebagai Alat Bantu, Produktivitas dan Efisiensi
AI terbukti mampu meningkatkan produktivitas mahasiswa. Hidayat et al. (2025) menyatakan bahwa mahasiswa yang memanfaatkan AI dalam penyusunan materi komunikasi dan media digital dapat menghemat waktu dan meningkatkan kualitas produksi konten (Hidayat, 2025). Di Universitas Negeri Surabaya, studi menunjukkan bahwa AI digunakan mahasiswa komunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas dengan lebih efisien dan cepat (D’Paskah et al., 2024).
Dalam konteks ini, AI berfungsi layaknya “asisten digital”, memberi masukan kreatif dalam brainstorming, mengedit struktur tulisan, atau membantu mahasiswa memahami tren media melalui analisis big data. Hal ini meningkatkan daya saing mahasiswa dalam dunia kerja yang menuntut kemampuan teknologi tinggi.
AI sebagai Ancaman : Ketergantungan dan Hilangnya Kreativitas
Namun demikian, potensi ancaman tidak bisa diabaikan. Jati (2023) mengungkapkan bahwa ketergantungan pada AI berisiko melemahkan kemampuan berpikir kritis dan empati mahasiswa komunikasi, yang notabene merupakan aspek kunci dalam praktik komunikasi manusiawi (Jati, 2023).
Mahasiswa bisa terjebak dalam pola berpikir instan dan kurang mendalami proses refleksi kritis dalam membentuk pesan komunikasi. Lebih jauh, Purwantiningrum & Sembiring (2024) dalam studinya menyatakan bahwa penggunaan ChatGPT secara berlebihan dapat menyebabkan homogenisasi gagasan, karena AI cenderung mengulang pola jawaban tertentu yang bersifat netral atau aman (Purwantiningrum, 2024).
Perspektif Etika dan Komunikasi Akademik
Masuknya AI juga memunculkan problem etika akademik. Thohir et al. (2023) mengingatkan bahwa mahasiswa perlu membangun kesadaran etis dalam menggunakan AI, terutama dalam konteks plagiarisme, fabrikasi data, dan keaslian karya (Thohir, 2023).
Etika komunikasi akademik menjadi tantangan tersendiri saat AI bisa dengan mudah menciptakan esai atau laporan ilmiah dalam hitungan detik. AI juga mengaburkan batas antara produksi manusia dan mesin, sehingga dosen dan institusi perlu menyusun pedoman yang jelas tentang penggunaan AI secara akademik dan profesional.
Literasi Digital sebagai Kunci Adaptasi
Dalam menghadapi tantangan ini, literasi digital menjadi kunci. Indriani & Samola (2025) menekankan bahwa mahasiswa perlu dibekali keterampilan untuk mengendalikan AI, bukan hanya menggunakannya (Indriani, 2025). Mereka harus mampu memilah informasi, memverifikasi fakta, dan tetap kritis terhadap konten yang dihasilkan AI.
Penting pula adanya pelatihan literasi digital yang tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis, tetapi juga pada pemahaman sosial, budaya, dan etika dari interaksi manusia-mesin dalam konteks komunikasi. Dalam dunia industri, terutama public relations (PR) dan media digital, AI sudah menjadi standar.
Muktiarso (2024) mencatat bahwa banyak instansi pemerintah dan lembaga pendidikan telah mengadopsi AI dalam aktivitas komunikasi eksternal mereka (Muktiarso, 2024). Namun, keberadaan AI juga memunculkan ancaman disrupsi pekerjaan. Posisi content creator, copywriter, hingga media planner bisa tergantikan otomatisasi. Maka dari itu, mahasiswa komunikasi masa kini harus bersiap menjadi “co-creator” AI, bukan kompetitor yang tersingkirkan.
Aspek lain yang sering terabaikan adalah pengaruh AI terhadap psikologis mahasiswa. Riset dari Syaharani (2024) mengungkapkan bahwa mahasiswa merasa bingung terhadap batasan antara “karya mereka sendiri” dan “karya AI” dalam menyelesaikan tugas kampus. Hal ini berimplikasi pada krisis identitas akademik dan kepercayaan diri (Syaharani, 2024).
Intervensi institusional dibutuhkan untuk memastikan bahwa mahasiswa tetap merasa memiliki kontrol dan peran dalam proses belajarnya, alih-alih merasa digantikan.
Menuju Kolaborasi Manusia-Mesin
Sebagian besar akademisi sepakat bahwa masa depan mahasiswa komunikasi bukan soal menolak AI, tetapi mengintegrasikannya secara kritis dan kreatif. AI dapat digunakan untuk analisis tren media sosial, personalisasi pesan komunikasi, atau pengembangan storytelling berbasis data. Menurut Hidayanto et al. (2024), mahasiswa seharusnya didorong untuk menjadikan AI sebagai kolaborator yang memperkuat narasi komunikasi yang humanis, bukan menggantikannya (Hidayanto, 2024).
Rekomendasi
1. Kurikulum Adaptif: Perguruan tinggi komunikasi perlu mengintegrasikan modul AI dalam kurikulum secara kritis, bukan sekadar pengenalan alat.
2. Etika dan Kebijakan AI: Diperlukan pedoman yang jelas mengenai penggunaan AI dalam akademik agar tidak menimbulkan ambiguitas.
3. Pelatihan Dosen dan Mahasiswa: Workshop literasi AI perlu dilaksanakan secara berkala untuk membangun kemampuan teknis dan etis.
4. Kolaborasi Riset Manusia-Mesin: Dukung riset-riset berbasis AI dalam komunikasi, bukan hanya sebagai objek studi tetapi juga sebagai mitra inovasi.
Kesimpulan
AI adalah pisau bermata dua bagi mahasiswa komunikasi. Di satu sisi, ia menghadirkan peluang luar biasa dalam meningkatkan efisiensi, kreativitas, dan relevansi industri. Di sisi lain, ia membawa ancaman terhadap orisinalitas, etika, dan identitas akademik jika digunakan tanpa kendali. Maka pertanyaan “Ancaman atau Alat Bantu?” tidak memiliki jawaban tunggal. Yang terpenting adalah bagaimana mahasiswa mampu bersikap adaptif, kritis, dan etis dalam menghadapi realitas AI sebagai bagian tak terpisahkan dari masa depan komunikasi.
Penulis:
Rafi Sahda Talita