BANDUNG,TM.ID: Zaman berkembang semakin cepat. Kemajuan teknologi telah menjalar hingga ke seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik itu ekonomi, pangan, gaya hidup, sampai media informasi pun mengalami distorsi.
Perusahaan media massa konvensional telah mengalami masa jayanya dimana mereka menjadi sumber informasi utama bagi masyarakat. Kini media massa konvensional tidak lagi menjadi sumber informasi utama karena masyarakat bisa mengaksesnya dari manapun.
Jika saat itu masyarakat hanya dapat mengakses informasi dari sumber media cetak, radio, maupun televisi. Kini masyarakat luas bisa mengakses informasi melalui berbagai media.
Masyarakat luas bukan hanya mudah dalam mengakses informasi melainkan juga bisa menyebarkannya hanya dengan berbekal handphone dan media sosial.
Masyarakat bisa mengambil opsi media informasi dari berbagai sumber dan tidak lagi mengandalkan media massa konvensional. Alhasil media massa konvensional harus beradaptasi dengan berpindah ke media massa digital.
Kemudahan dalam mengakses dan menyebarkan informasi ini menimbulkan dampak pada menurunnya kualitas informasi. Banyak sekali informasi bohong atau hoax yang dengan cepat beredar di masyarakat.
BACA JUGA: Darurat Sampah, Kenali “Zero Waste” untuk Bumi Lebih Sehat
Dilansir dari Republika,co.id, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan bahwa dewan pers sangat berharap, Perpres ini dapat memastikan karya Jurnalistik yang didistribusikan melalui algoritma adalah karya jurnalistik berkualitas.
Dengan adanya Perpres Jurnalisme berkualitas ini diharapkan dapat menyaring berita sehingga berita yang beredar adalah berita yang akurat, berimbang, dan sesuai fakta.
Setidaknya ada tiga isu utama yang meliputi rancangan Perpres Jurnalisme ini yaitu, kerjasama Business to Business (B to B), mengenai data, dan penguasaan algoritma platform digital.
Wakil Menkominfo, Nezar Patria mengatakan bahwa perpres ini dilatarbelakangi oleh upaya pemerintah membangun keberlanjutan industri media di era disrupsi digital serta dalam rangka upaya mencegah konten yang berpotensi mengandung hoaks, misinformasi, disinformasi, dan tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers serta kode etik jurnalistik.
(Wulan Nur Khofifah Persma Isolapos)