BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Keraton Yogyakarta, pusat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta, bukan hanya simbol sejarah dan budaya, tetapi juga menjadi pusat garis imajiner di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Garis imajiner ini memiliki keistimewaan berupa konsep tata ruang yang masih satu garis lurus, terbentang dari Gunung Merapi, Keraton, hingga laut selatan.
Garis imajiner ini bukan hanya sekedar garis, tetapi juga melambangkan hubungan erat antara alam, manusia, dan spiritualitas.
Sumbu Filosofis
Selain garis imajiner, Yogyakarta juga memiliki sumbu filosofis yang menghubungkan Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak melalui jalan. Sumbu filosofis ini melambangkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan alam.
- Panggung Krapyak ke utara hingga Keraton: Melambangkan perjalanan manusia sejak bayi, beranjak dewasa, berumah tangga hingga melahirkan anak.
- Tugu ke Keraton: Melambangkan perjalanan manusia kembali ke Sang Pencipta.
Tugu Golong Gilig dan Panggung Krapyak juga merupakan simbol Lingga dan Yoni, yang melambangkan kesuburan. Dari semua simbol ini, Keraton Yogyakarta menjadi pusatnya.
Keraton Yogyakarta Titik Suci
Keraton Yogyakarta dianggap suci karena diapit enam sungai secara simetris: sungai Code, Gajah Wong, Opak, Winongo, Bedhog, dan Progo.
Gunung Merapi dan Pantai Selatan menjadi ujung garis imajiner, dengan Keraton berada tepat di tengah-tengah keduanya. Jauh hari sebelum kasultanan ini berdiri, Sri Sultan Hamengku Buwono I telah memikirkan konsep penataan kota yang demikian unik.
Mitos Gunung Merapi
Konon, dahulu kala, Pulau Jawa tidak seimbang, miring ke sebelah barat karena banyak gunung di ujung barat, sementara bagian tengah dan timur tidak ada.
Untuk menyeimbangkan pulau Jawa, Dewa Krincingwesi memerintahkan untuk memindahkan Gunung Jamurdwipa di barat Pulau Jawa, ke tengah pulau Jawa, tempat sekarang berdirinya Gunung Merapi.
Namun, pemindahan ini menghadapi kendala, salah satunya karena ada dua orang empu sakti, kakak beradik Empu Rama dan Permadi, yang tengah mengerjakan keris di tengah pulau Jawa.
Para Dewa yang mendatangi kedua empu ini pun mengakui kesaktiannya dan meminta mereka untuk berpindah. Namun, kedua empu menolak dengan alasan mereka harus menyelesaikan keris.
Dewa Krincingwesi murka lalu menjatuhkan Gunung Jamurdwipa diatas mereka. Keduanya terkubur hidup-hidup dan roh mereka dipercaya menjadi penjaga Gunung Merapi hingga sekarang.
Mereka bahkan menjabat sebagai raja dari semua makhluk halus di Merapi. Perapian tempat mereka membuat keris menjadi cikal bakal penamaan Merapi dan diyakini sebagai cikal bakal lahar panas Gunung Merapi.
Gunung Merapi Berasal dari Gunung Himalaya
Kisah lain menyebutkan bahwa Gunung Merapi dulunya berasal dari bagian Gunung Himalaya.
Bathara Bayu diperintah Hyang Guru untuk mengambil bagian Gunung Himalaya untuk ditancapkan di Pulau Jawa.
Namun, dalam perjalanannya, bagian-bagian gunung ini jatuh di bagian barat pulau Jawa, menjadi sejumlah gunung di Jawa Barat.
Bathara Bayu kemudian terbang ke wilayah tengah pulau Jawa dan menjatuhkan bagian lambung Gunung Himalaya, membentuk sejumlah gunung di wilayah tengah pulau Jawa, termasuk Gunung Merapi.
BACA JUGA : Legenda Nyi Roro Kidul Penguasa Laut Selatan yang Misterius
Kisah ini juga melibatkan Empu Rama, Empu Permadi, dan Nyai Gadung Melati, yang berhasil menyelamatkan diri saat bagian Gunung Himalaya dijatuhkan.
Terowongan yang mereka gunakan untuk menyelamatkan diri menjadi cikal bakal Telaga Putri, Telaga Nirmala, dan Telaga Muncar.
Mereka kemudian menghuni Kedaton Watu Garuda, Kawah Gendol, Geger Boyo, Gunung Kendil, Plawangan, serta Turgo.
(Hafidah Rismayanti/Budis)