Misteri Larangan di Balik Tarian Sakral Keraton Jogja, Tari Bedhaya Semang

Tari Bedhaya Semang Jogja
(Pinterest)

Bagikan

BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Tari Bedhaya Semang asal Jogja merupakan warisan budaya tak benda berupa tari klasik yang sarat makna dan memiliki nilai seni tinggi.

Tarian ini berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan umumnya ditampilkan dalam upacara-upacara istana atau acara keagamaan.

Keraton Jogja dan Surakarta memiliki dua jenis tarian sakral tari Bedhaya dan tari Serimpi. Tari Bedhaya menggambarkan penciptaan tujuh bidadari yang mengelilingi Suralaya.

Tarian ini dibawakan oleh sembilan penari putri, yang melambangkan seluruh penjuru mata angin dan arah kedudukan bintang di alam semesta.

Di Jogja, tari Bedhaya Semang terinspirasi dari tari Bedhaya Ketawang Surakarta. Kisah di balik tari Bedhaya Semang menceritakan pertemuan antara Ratu Kidul dan Sultan Agung, Raja Mataram Islam.

Sejarah Tari Bedhaya Semang

Tari Bedhaya Semang diperkenalkan oleh Sultan Hamengku Buwono II pada tahun 1792. Kata “semang” berarti khawatir atau was-was, menggambarkan keraguan hati Sultan Agung saat Ratu Kidul mempersembahkan tarian kepadanya.

Dalam cerita tarian, Ratu Kidul dan Sultan Agung bertemu di pantai, perbatasan antara Kerajaan Mataram Islam dan Kerajaan Nyi Roro Kidul. Keduanya saling tertarik, dan Sultan Agung mengikuti Ratu Kidul ke istananya di dasar laut.

Namun, roh Sunan Kalijaga mengingatkan Sultan Agung bahwa Ratu Kidul bukan manusia, kecantikannya abadi seperti bulan purnama.

Sunan Kalijaga menyadarkan Sultan Agung agar fokus pada tugasnya untuk mengayomi rakyat. Akhirnya, Sultan Agung meninggalkan Ratu Kidul, yang berjanji akan selalu melindungi Sultan Agung dan keturunannya.

Larangan Pertunjukan di Luar Keraton

Tari Bedhaya Semang hanya tampil dalam acara Keraton yang sangat istimewa, seperti peringatan pemberian takhta atau upacara Tingalan Dalem Jumenengan.

Meskipun dipercaya sebagai tari sakral, Sultan Hamengku Buwono VIII tidak menggelarnya sebagai bagian dari upacara penobatannya. Ia lebih memilih Tari Bedhaya Jatiwarna dan Bedhaya Sudira Gambuh.

Beberapa orang meyakini bahwa pertunjukan tari ini dihadiri oleh Ratu Kidul dan rombongannya. Mereka memiliki permintaan khusus yang memerlukan pelayanan rumit. Oleh karena itu, tarian sakral ini dilarang untuk dibawakan di luar Keraton Jogja.

Ketentuan Pertunjukan

Tari Bedhaya Semang hanya boleh disaksikan oleh orang-orang tertentu dari kalangan istana.

Penyelenggaraan tarian ini harus menyertakan 24 jenis sesajen, seperti rasulan, ketan salak, kolak pisang mas, tumpeng robyong, dan lainnya.

Ritual pembakaran dupa disertai dengan munjuk atur sebagai tanda penghormatan kepada Sultan Agung dan Ratu Kidul.

Tari Bedhaya Semang ditarikan oleh sembilan penari, dengan delapan penari terlihat dan satu penari tidak terlihat yang mewakili Kanjeng Ratu Kidul.

Pementasan pada Malam Selasa Kliwon

Sultan Agung akan mengadakan tari Bedhaya Semang pada malam Selasa Kliwon untuk bertemu Ratu Kidul. Malam Selasa Kliwon dianggap memiliki kekuatan magis dan keberkahan bagi masyarakat Jawa.

Selain sebagai wujud penghormatan dan upaya untuk memohon kehadiran Ratu Kidul, tari Bedhaya Semang mengandung makna yang berkaitan dengan ketentraman alam semesta.

Perkembangan Tari Bedhaya Semang

Tari Bedhaya Semang secara rutin dipentaskan hingga pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII. Namun, setelah terjadi insiden yang menyebabkan salah satu penari kehilangan ingatannya, tarian ini tidak pernah digelar lagi.

Para abdi dalem menginterpretasikan insiden tersebut sebagai kemarahan Ratu Kidul karena penari yang bersangkutan tidak suci.

Meskipun tari Bedhaya Semang terakhir kali ditampilkan pada tahun 2002, upaya pelestariannya tetap dilakukan melalui gladhen yang diadakan setiap malam Selasa Kliwon.

BACA JUGA : Ingin Jadi Penari Handal? Pahami Teknik Dasar dan Prosedur Ini

Tari Bedhaya Semang diizinkan untuk dipentaskan hanya pada hari anggara kasih. Hanya perempuan yang dalam keadaan suci yang diperbolehkan menari tarian ini.

Tari Bedhaya Semang merupakan bukti kekayaan budaya Jawa yang sarat dengan makna dan misteri. Tarian ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menyimpan pesan moral dan spiritual yang mendalam.

 

(Hafidah Rismayanti/Aak)

Baca berita lainnya di Google News dan Whatsapp Channel
Berita Terkait
Berita Terkini
Canda Kusuma KADER dEMOKRAT viral
Viral, Kader Demokrat Ini Lari dari Tanggung Jawab Sebagai Kepala Keluarga
simon aloysius jadi dirut pertamina
Begini Respon Simon Aloysius Usai Diangkat Jadi Dirut Pertamina
tuan guru bajang keluar dari perindo-1
Perindo Umumkan Jajaran Baru Usai Tuan Guru Bajang Mundur
emas pegadaian harga emas antam
Harga Emas Antam Stabil, Ini Rincian Harga Buyback dan Pajak
PSSI Naturalisasi
DPR Soroti Proses Naturalisasi PSSI yang Sering Dilakukan di Menit Terakhir
Berita Lainnya

1

Pabrik Tekstil di Katapang Andir Kabupaten Bandung Kebakaran

2

Aksi Reuni 411 Menyasar Jokowi dan Fufufafa, Balas Dendam?

3

Ditemukan Bakteri, BPOM Desak Penjualan Jajanan Impor Latiao Disetop!

4

Hampir 2.000 Peserta Meriahkan POSPAY Run 2024 di Bandung

5

PP PERSIS Tegaskan Netral di Pilkada Kabupaten Bandung
Headline
aksi reuni 411-1
Reuni Aksi 212 Rencanakan Bawa Massa Lebih Besar pada 2 Desember 2024
Arne Slot Liverpool
Jelang Laga Kontra Leverkusen, Arne Slot Fokus pada Performa Mohamed Salah
Mees Hilgers
Jelang Laga Kontra Jepang dan Arab, Shin Tae-yong Pantau Kondisi Cidera Mees Hilgers
Empat Orang WNI Terdampak Banjir Spanyol
Pertandingan Valencia vs Parla Escuela Ditunda untuk Kedua Kalinya Akibat Banjir