JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat, sebanyak 5.626 siswa mengalami keracunan seusai mengonsumsi menu MBG sepanjang Januari hingga 19 September 2025.
Saat ini, Program MBG sendiri telah berjalan di 9.615 dapur SPPG yang melayani lebih dari 31 juta penerima manfaat di seluruh Indonesia.
Kepala BGN Dadan Hindayana mngklaim, maraknya kasus keracunan pada program makan bergizi gratis (MBG) bukan disebabkan sabotase.
Berdasarkan investigasi sementara, insiden tersebut lebih banyak dipicu oleh kelalaian dalam menjalankan prosedur standar.
“Sejauh ini penyebabnya adalah kelalaian terhadap SOP (standard operating procedure), bukan karena sabotase,” kata Dadan melansir Berita Satu, Selasa (30/9/2025).
Dadan menyebut, temuan BGN menunjukkan pola keracunan lebih sering terjadi di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang baru beroperasi.
Ia menilai, hal tersebut dipengaruhi keterbatasan pengalaman tenaga kerja yang masih dalam tahap adaptasi.
“Data memperlihatkan sebagian besar kasus menimpa SPPG yang masih baru. SDM mereka membutuhkan jam terbang lebih banyak untuk bisa lebih sigap dalam menjaga kualitas,” ujarnya.
Baca Juga:
Pengamat Sebut MBG Berjalan Amburadul: Kepala BGN Harus Dicopot!
Marak Kasus Keracunan MBG, Ini Daftar Purnawirawan TNI yang Punya Jabatan di BGN
Seperti diketahui, Kasus keracunan MBG terbaru terjadi di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, sebanyak 1.258 siswa di Cipongkor dan Cihampelas mengalami gejala mual, pusing, hingga muntah setelah menyantap makanan MBG.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Bandung Barat, Lia Nurliana, mengatakan hingga kini 1.159 siswa telah sembuh dan dipulangkan, sementara 99 siswa masih dirawat.
Menyikapi kondisi ini, Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) serta menutup 85 dapur MBG yang sebagian besar belum memiliki sertifikat kelayakan penyajian makanan.
Selain di Bandung Barat, kasus serupa juga terjadi di Cianjur dan Sumedang (Jawa Barat), Kebumen dan Banyumas (Jawa Tengah), serta Lampung Timur (Lampung). Di Lampung Timur, puluhan siswa SD dan SMP dirawat di RSUD Sukadana setelah mengonsumsi menu MBG.
Dadan menambahkan, selain kelalaian SOP, kualitas bahan baku dan kondisi air di sejumlah daerah turut menjadi faktor pemicu. Karena itu, BGN menekankan perlunya pengawasan ketat, mulai dari distribusi bahan makanan hingga standar kebersihan dapur.
Pakar kesehatan masyarakat menilai berulangnya kasus keracunan dalam program MBG menjadi alarm serius bagi pemerintah. Pengawasan harus diperkuat dari hulu ke hilir, mulai pemilihan bahan baku, penyimpanan, pengolahan, hingga distribusi ke sekolah.
Meski demikian, program MBG tetap dipandang vital untuk meningkatkan gizi anak Indonesia, terutama dalam menekan angka stunting yang masih berada di kisaran 21 persen pada 2024.
“Tujuan program ini sangat baik, tapi kita tidak boleh abai terhadap aspek higienitas. Anak-anak adalah prioritas utama,” tegas Dadan.