JAKARTA,TM.ID: Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, mendukung segera dibentuknya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren di Kementerian Agama untuk memajukan pendidikan santri di Tanah Air.
“Pembentukan Ditjen Pesantren sudah sangat dibutuhkan, mengingat jumlah pesantren dan santri yang sangat besar di Indonesia,” kata Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Dia menjelaskan terbentuknya Ditjen Pondok Pesantren agar pengelolaan pesantren dapat dilaksanakan lebih fokus, lebih baik, dan lebih sesuai dengan semangat sudah disahkannya Undang-Undang Pesantren.
Menurut dia, jumlah pesantren periode 2022-2023 berdasarkan data Kemenag ada 39.043 pesantren dengan total jumlah santri sebanyak 4,08 juta.
“Itu yang tercatat, belum lagi pesantren-pesantren yang tidak tercatat,” ujarnya.
Dia mengatakan pembentukan Ditjen Pondok Pesantren sudah diusulkan oleh Menteri Agama sejak tahun 2021 dan sudah mendapatkan dukungan dari PBNU.
Tidak hanya itu, kata dia, usulan meningkatkan status menjadi Direktorat Jenderal Pesantren juga ia dukung secara terbuka dalam rapat kerja antara Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama maupun dengan Dirjen Pendidikan Islam pada tahun 2022.
BACA JUGA: Kasus TPPU, Suami Maia Estianty Diperiksa KPK!
Hidayat mengatakan bahwa saat ini pesantren ditangani oleh sebuah Direktorat Diniyah dan Pesantren yang berada di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kemenag.
Menurut dia, apabila pesantren dinaikkan levelnya ke level Ditjen, maka Ditjen Pendis dapat lebih fokus menangani pendidikan agama Islam selain pesantren, seperti madrasah, perguruan tinggi Islam atau pendidikan agama Islam di luar pesantren.
Selain jumlah pesantren dan santri yang sangat besar, Hidayat menilai kelayakan pesantren diurus oleh eselon satu (direktur jenderal) karena didukung regulasi yang membahas secara spesifik mengenai pesantren.
Regulasi tersebut adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren dan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren yang salah satunya mengatur dana abadi pesantren.
“Adanya regulasi dan fokus kewenangan itu semakin memperkuat dasar kebutuhan bahwa pesantren perlu diurus di level direktorat jenderal,” ujarnya.
Dengan upaya itu, lanjut dia, UU Pesantren yang berhasil diperjuangkan di DPR dapat benar-benar diimplementasikan dengan baik, termasuk peraturan turunannya.
Hidayat setuju dengan Hasil Musyawarah Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang merekomendasikan pembentukan Ditjen Pesantren dengan alasan perlu struktur birokrasi yang kuat selevel ditjen untuk menjalankan amanah yang besar dalam UU Pesantren.
“Rekomendasi itu sudah tepat menjawab kebutuhan pesantren untuk ditangani birokrasi yang kuat,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, luasnya cakupan pesantren sebagaimana yang berhasil diperjuangkan oleh dirinya dan legislatif di Komisi VIII DPR RI dalam pembahasan UU Pesantren bahwa yang diakomodasi pada UU Pesantren mencakup tiga jenis pesantren.
Tiga jenis pesantren itu, terang dia, yakni pesantren tradisional berbasis kitab kuning, pesantren modern dalam bentuk madrasah islamiyah dengan pola mualimin, dan pesantren yang mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Sementara sebelumnya, pada draf awal RUU tersebut hanya disebutkan satu jenis pesantren saja.
Hidayat berharap pembentukan Ditjen Pesantren dapat mempercepat dan mengefektifkan realisasi penyaluran dana abadi pesantren untuk program pengembangan sumber daya manusia pesantren, baik untuk para santri, ustadz maupun kiai.
Selain itu, lanjut dia, keberadaan Ditjen Pesantren dapat membuat distribusi dana abadi pesantren itu dilakukan secara amanah, adil, dan merata melalui pendekatan keadilan anggaran yang mengakomodasi semua jenis pesantren yang termaktub dalam UU Pesantren.
“Hal itu untuk memajukan dan menghormati kekhasan masing-masing pesantren,” paparnya.
Dia menjelaskan bahwa Pembentukan Ditjen Pesantren bukan untuk mengekang kebebasan dan kekhasan pesantren, tapi justru untuk mendukung dan meningkatkan secara efektif bagi pengembangan dan peningkatan kwalitas pesantren di Indonesia mengingat peran pesantren bagi Bangsa Indonesia.
“Apalagi sumbangsih pesantren pada bangsa ini, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan sangat tinggi dan diakui sehingga Presiden Jokowi menetapkan ada hari Santri, tanggal 22 Oktober,” ujarnya.
Adapun usulan agar dibentuknya Ditjen Pesantren di Kemenag ini bukan pertama kali disampaikan Hidayat. Dalam berbagai rapat kerja dengan Kemenag, di mana salah satunya pada 14 September 2022 telah disampaikan usulan tersebut.
Dirjen Pendidikan Islam telah setuju dengan usulan tersebut. Sebelumnya, pada Oktober 2021, Menteri Agama telah mengusulkan hal ini kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Hidayat menagih Presiden Joko Widodo yang sempat mengusulkan pembentukan Kementerian Pesantren pada 2017.
Karena kalau ditingkatkan ke level kementerian sebagaimana pernah dijanjikan Presiden Jokowi sulit diwujudkan, maka pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren bisa menjadi opsi jalan tengah yang perlu segera diwujudkan, katanya.
“Usulan tersebut patut diapresiasi, tetapi patut ditagih realisasinya. Jangan hanya sekadar ‘lips service’,” kata Hidayat.
(Dist)