BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Universitas Airlangga (UNAIR) terus tunjukan komitmennya dalam mendukung kebijakan pendidikan nasional melalui kajian akademis dan kontribusi para pakar. Melalui diskusi terkini terkait keberlanjutan sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2025, pakar sosiologi pendidikan UNAIR, Prof Tuti Budirahayu Dra MSi menyampaikan pandangannya secara mendalam.
Prof Tuti mengungkapkan akar permasalahan sistem zonasi terletak pada ketimpangan kualitas dan distribusi sekolah di Indonesia.
“Selama ini, kualitas sekolah sering kali ditentukan oleh kemampuan dan harapan kelompok masyarakat,” ujarnya, mengutip laman resmi Unair, Jumat (20/12/2024).
Tantangan dalam Upaya Pemerataan
Prof Tuti menjelaskan secara sosiologis, sekolah berkualitas biasanya berkembang di lingkungan masyarakat strata menengah-atas yang memiliki sumber daya lebih besar. Sebaliknya, masyarakat menengah-bawah sering kali harus puas dengan sekolah yang minim fasilitas, baik dari sisi sarana-prasarana maupun kualitas tenaga pengajar.
Ketimpangan ini, menurut Prof Tuti, telah menciptakan perbedaan yang tajam. Anak-anak dari sekolah dengan fasilitas terbatas tidak dituntut untuk mencapai prestasi akademik tinggi, sedangkan sekolah unggulan menjadi eksklusif untuk kelompok tertentu. Implementasi zonasi menjadi tantangan besar karena memaksa masyarakat menghadapi kenyataan ketimpangan tersebut secara langsung.
Meski sistem zonasi memiliki tujuan mulia, yaitu pemerataan akses pendidikan, pelaksanaannya kerap memicu polemik. Prof Tuti menegaskan bahwa kembali ke sistem rayonisasi akan menghapus semangat pemerataan pendidikan.
“Jika kita kembali ke rayonisasi, maka kita mundur dalam upaya memberikan akses pendidikan yang adil dan merata,” jelasnya.
Namun, ia juga mengakui bahwa sistem zonasi memerlukan penyempurnaan. Salah satu solusi yang diajukan adalah peningkatan kualitas sekolah di seluruh wilayah. “Negara harus fokus pada peningkatan kualitas sekolah dan guru,” tegasnya.
Membangun Sekolah Inklusi
Prof Tuti menyarankan agar pemerintah memperkuat sistem zonasi dengan fokus pada pemerataan kualitas sekolah. Salah satu langkah strategis yang dia usulkan adalah revitalisasi sekolah inklusi.
“Sekolah inklusi tidak hanya mengintegrasikan siswa dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi, tetapi juga menyediakan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan individu,” jelasnya.
Di sekolah inklusi, siswa dengan berbagai karakteristik, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus, dapat belajar bersama dalam lingkungan yang sama dengan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan. Prinsip ini, menurut Prof Tuti, selaras dengan konsep “pendidikan untuk semua” (education for all) yang diusung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selain itu, Prof Tuti menekankan pentingnya pemantauan dan evaluasi berkala terhadap sistem zonasi. Evaluasi ini bertujuan memastikan bahwa kebijakan tersebut berjalan efektif dan memberikan dampak positif terhadap pemerataan pendidikan.
BACA JUGA: Komisi X Lagi Getol Serap Aspirasi Soal PPDB Zonasi, Nanti Ada Formula Baru
Prof Tuti menegaskan zonasi bukan hanya soal pembagian wilayah, melainkan merupakan langkah menuju terciptanya pendidikan yang adil dan merata bagi semua siswa. Ia juga menambahkan untuk mewujudkannya, perlu adanya dukungan nyata dari negara dalam mendukung pemerataan akses pendidikan.
(Virdiya/Budis)