JAKARTA.TM.ID: Presiden telah menandatangani PP nomor 51 tahun 2023 yakni revisi PP 36 tahun 2021 atas amanat Pasal 88D UU no. 6 tahun 2023. Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar menyatakan atas diterbitkannya PP 51 tahun 2023 itu, ada beberapa catatan dari OPSI.
Pertama adalah penetapan PP no. 51 tahun 2023 yaitu revisi PP 36 tahun 2021 sangat tidak melibatkan buruh dan SP SB. Selama ini Pemerintah .
Kementerian Ketenagakerjaan selalu mengatakan terus melakukan serap aspirasi utk merevisi PP 36 namun Kemnaker tidak pernah menjelaskan apa hasil serap aspirasi tersebut kepada publik.
“Untuk memastikan obyektifitas dari hasil serap aspirasi tsb Kemnaker harus menyampaikan ke publik apa yang disampaikan oleh SP/SB kepada Kemnaker tersebut,” kata Timboel Kamis (16/11/2023).
Pemerintah sebelum menetapkan PP no.51, harus berunding dulu dgn unsur SP SB di LKS Tripartit.
“Saya yakin tidak ada proses perundingan ttg hal ini di LKS Tripartit. Pemerintah langsung menetapkan sendiri, dan akan menjawab bila ditanya ttg keterlibatan SP SB dan Pekerja/buruh bahwa kami sudah melakukan serap aspirasi. Ini jawaban manipulatif,” ungkapnya.
BACA JUGA: Ratusan Buruh Bandung Barat Shalat Gaib untuk Rakyat Palestina
Kembali Pemerintah dgn sengaja mengabaikan nilai-nilai dialog sosial, dan mengabaikan nilai Meaningfull Participation yg diamanatkan putusan MK lalu.
Bila di PP 51 tahun 2023 hanya disebut nilai alfa 0.1 – 0.3.” Saya pastikan tidak ada SP/SB dan pekerja/buruh yang mengusulkan angka tersebut. Selang nilai alfa tersebut adalah sama dengan nilai alfa di Permenaker no. 18 tahun 2022, yg memang ditolak oleh SP/SB dan pekerja/buruh. Saya sendiri menolak nilai alfa tersebut ketika ditetapkan di Permenaker no. 18,” imbuhnya.
Selang nilai alfa tersebut sangat tidak adil kepada pekerja, dan dasar penetapan nilai alfa tsb tidak didasarkan pada perhitungan obyektif. “Saya yakin nilai alfa tersebut hanya mengakomodir kepentingan pengusaha semata,” bebernya.
Penetapan PP no. 51 selain tidak didasarkan pada proses dialog sosial dua arah (negosiasi), juga penetapan PP no. 51 sangat terlambat karena tinggal beberapa hari lagi Gubernur harus menetapkan UMP (tgl 21 Nov) dan UMK (tgl 30 Nov). Akibat keterlambatan tsb maka ruang negosiasi untuk menetapkan nilai alfa di dewan pengupahan daerah pun akan tidak terjadi. Nilai alfa akan ditetapkan dgn arahan langsung dari pemerintah pusat.
Presiden Jokowi sampai saat ini tidak juga merevisi PP 35 Tahin 2021, padahal Pasal 64 UU No. 6 tahun 2023 membatasi pelaksanaan alih daya. Akibat ketidakpedulian Presiden Jokowi tersebut maka semakin banyak pekerja yg dipekerjakan dengan sistem kerja alih daya.
Kemudian, kedua, pemerintah dalam menetapkan formula kenaikan UM pada PP No. 51 tahun 2023 harus mempertimbangkan keseimbangan dan keadilan bagi buruh berdasarkan pada amanat UUD 1945 yaitu hak buruh untuk mendapatkan penghidupan yg layak.
Penghidupan layak itu berbasis pada upah riil bukan upah nominal. Selama ini cara pandang pemerintah hanya kenaikan upah nominal. Itu cara pandang yang sangat tidak sesuai dengan amanat UUD 1945. Jadi upah minimum naik 1 perak pun sudah disimpulkan sbg kenaikan upah, tetapi mengabaikan kesejahteraan buruh yg upah riilnya menurun.
Penghidupan yg layak bagi buruh itu seharusnya bertumpu pada 64 komponen item KHL.
“Jadi inflasi yg digunakan seharusnya lebih mengacu pada 64 item KHL, bukan inflasi berdasarkan seluruh barang dan jasa,” tuturnya.
Ketiga, formula penyesuaian UM hanya berdasarkan alfa 0.1 – 0.3. Ini sebuah kesalahan cara pandang terhadap buruh.
Nilai alfa tsb berarti buruh hanya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi sebesar 10 sampai 30 persen. Selebihnya yaitu 70 sampai 90 persen dikontribusi oleh faktor modal dan manajemen.
Ini sebuah cara pandang merendahkan produktivitas buruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Buruh sangat berkontribusi pada Konsumsi Agregat (C), Investasi (I), Goverment Expenditure (G), Export (E) dan Import (I).
Konsumsi agregat sangat didukung oleh konsumsi buruh dan keluarganya, dan upah buruh umumnya habis dikonsumsi ke pasar. Fakta ini harus dilihat Pemerintah secara adil.
BACA JUGA: May Day di Depan DPR, Eggi Sudjana: Bukan Kepentingan Partai Buruh!
Pekerja/buruh pun menjadi aktor utama dalam menggerakkan investasi yg masuk baik PMA maupun PMDN.
Pekerja/buruh merupakan pembayar pajak baik PPh21 maupun pajak atas barang yg dikonsumsinya. Pajak2 dari buruh tsb adalah pemasukan bagi APBN. Bahwa APBN menjadi sumber Goverment Expenditure (G).
Demikian juga buruh adalah penggerak aktivitas export dan import.
“Jadi kontribusi buruh pada pertumbuhan ekonomi sangat tinggi, sehingga nilai Alfa 0.1 – 0.3 tidak memberikan keadilan kepada buruh,” jelasnya.
Nilai alfa tersebut hanya melegitimasi kenaikan upah nominal, tanpa fokus pada kenaikan upah riil buruh.
Simulasi hitungan secara nasional, namun PP 51 menekankan pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi propinsi, bila inflasi secara nasional di 2023 sekitar 2.28 persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen maka dgn alfa 0.3 (ambil yg tertinggi), kenaikan UM sebesar 2.28 persen + 5 persen x 0.3 = 3.78 persen.
Bila dibandingkan dgn inflasi pangan yg sdh mencapai 5 persen lebih maka kenaikan UM tsb di bawah inflasi pangan. Ini berpotensi menyebabkan upah riil buruh menurun, walaupun upah nominal naik.
Keempat adalah kandungan PP 51 yang menekankan pada keseimbangan UM antar-daerah yaitu dgn menetapkan kenaikan UM berdasarkan alfa x Pertumbuhan Ekonomi, ini pun cara Pemerintah Jokowi untuk menekan upah riil buruh. Padahal di daerah tersebut nilai inflasinya pun ada. Dengan rumus tersebut, ini yang menyebabkan upah riil buruh di daerah tersebut semakin menurun drastis, kemakan inflasi.
Kelima adalah PP no.51 harus obyektif dalam menetapkan kenaikan UM dgn menggunakan data2 yg dikeluarkan BPS. Seharusnya ada data pembanding soal ini yaitu melalui survey pasar yang melibatkan 3 pelaku hubungan industrial.
Seharusnya data utk inflasi dipakai data berdasarkan 64 item KHL. Seharusnya dibuka ruang ada pembanding inflasi yg disampaika pemerintah yaitu dengan data survey langsung ke pasar utk 64 item KHL.
“Saya menyimpulkan Revisi PP 36 tahun 2021 menjadi PP 51 tahun 2023 yang ditandatangani Presiden Jokowi adalah ketidakadilan bagi buruh untuk mencapai penghidupan yang layak,” ujarnya
Laporan wartawan Jakarta : Agus Irawan