BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Jagat politik Tanah Air kembali memanas setelah Partai NasDem resmi menonaktifkan Ahmad Sahroni dari keanggotaan DPR RI. Keputusan ini diumumkan langsung oleh Ketua Umum NasDem Surya Paloh bersama Sekjen Hermawi Taslim pada Minggu (31/8/2025). Selain Sahroni, nama Nafa Urbach juga ikut terseret. Keduanya tak lagi aktif di parlemen mulai Senin (1/9/2025).
Menurut Hermawi, langkah tegas ini diambil setelah mendengar aspirasi masyarakat. Pasalnya, ucapan kader NasDem yang dinilai arogan, mulai dari sebutan “orang tolol sedunia” hingga keluhan “macet 30 menit dari Bintaro ke Senayan”, dianggap mencederai perasaan publik dan tidak selaras dengan perjuangan partai.
Namun, reaksi berbeda muncul dari influencer muda Salsa Erwina Hutagalung. Melalui media sosial, ia menyambut baik keputusan tersebut, tapi dengan sindiran tajam.
“Non aktif sama dipecat sama nggak? Kami tidak mau lagi lihat orang ini di parlemen. Reputasi partai dipertaruhkan menjelang 2029,” tulis Salsa.
Salsa mengingatkan agar partai politik tidak menunggu masyarakat marah baru bertindak.
“Langkah cepat dan tegas jauh lebih penting,” tegasnya.
Tak hanya NasDem, Salsa juga mengapresiasi langkah serupa dari PAN yang mencopot dua kader artisnya, Eko Patrio dan Uya Kuya, per 1 September 2025.
“Terima kasih @amanatnasional sudah meredakan amarah masyarakat. Artis-artis yang tidak kredibel akan terus kami pantau,” ujar Salsa.
Baca Juga:
Jamin Penyampaian Aspirasi, Tapi Prabowo Endus Unsur Makar hingga Terorisme pada Demonstrasi
Jelang Demo, Kawasan DPRD Jabar Masih Kondusif, Massa Belum Muncul
Sentil PDIP
Salsa tidak berhenti di situ. Ia juga menyoroti PDIP, khususnya dua kadernya, Deddy Sitorus dan Bambang Pacul. Deddy pernah menyebut gaji DPR tidak layak disamakan dengan pegawai UMR, sementara Bambang Pacul menegaskan pengesahan RUU Perampasan Aset menunggu restu ketua umum partai.
“@pdiperjuangan jangan jadi juara dunia arogan. Pecat segera kader yang meremehkan rakyat kecil. Jangan sampai ada korban lagi,” tegasnya.
Sementara itu, peneliti senior BRIN Lili Romli mengingatkan bahwa semua warga negara, termasuk yang tinggal di luar negeri, berhak mengkritik pejabat publik.
“Sebagai pejabat publik, mereka harus menerima dan legowo dikritik karena bekerja untuk rakyat dan digaji dari uang rakyat,” ujarnya.
Ia menambahkan, pejabat seharusnya bekerja baik dan berbicara hati-hati agar tak melukai hati rakyat. Serangan terhadap pribadi pengkritik, menurutnya, adalah tindakan yang bertentangan dengan demokrasi.
“Tidak boleh ketika ada kritik, orang yang mengkritik diserang pribadi atau keluarganya. Itu tindakan tidak bertanggung jawab,” pungkas Lili.
(Hafidah Rismayanti/_Usk)