BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Menelisik sejarah berdirinya Masjid Nabawi, sebelum dibangun ternyata merupakan lahan tempat menjemur buah kurma.
Masjid Nabawi yang kini berdiri megah di kota Madinah, Arab Saudi, adalah masjid kedua yang dibangun dalam sejarah Islam.
Masjid Nabawi sebagai masjid terbesar kedua di dunia, dibangun di atas lahan seluas 400ribu persegiyang dapat menampung sekitar 1juta jemaah.
Masjid merupakan tempat paling suci bagi umat Islam selain Masjidil Haram di Makkah. Lahan Masjid Nabawi semula milik dua anak yatim kakak beradik bernama Sahal dan Suhail.
Lahan Masjid Nabawi
Ketika Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya hijrah ke Madinah (Yastrib), tanah lapang milik Sahal dan Suhail itu dibeli oleh Nabi untuk membangun masjid.
Sahal dan Suhail mulanya menolak pembelian itu karena mereka ingin mewakafkan tanah tersebut kepada Nabi.
Namun, karena Nabi tidak pernah menyia-nyiakan hak seseorang, apalagi anak yatim, maka tanah itupun dibeli oleh Nabi dengan harga yang sewajarnya.
Itulah titik awal berdirinya Masjid Nabawi yang begitu megah dengan kubah hijau di kota Madinah.
Mengutip laman NU Online, M. Muhyiddin dalam Sayyiduna Muhammad Nabi Al-Rahmah (hal. 62-63) yang dinukil KH Zakky Mubarak menjelaskan, waktu Rasulullah SAW dan para sahabatnya memasuki kota Madinah, beliau mendapat sambutan yang luar biasa.
Bahkan setiap orang dari mereka menawarkan agar Nabi tinggal di rumahnya. Namun karena tidak mau mengecewakan ajakan mereka, maka Nabi pun tidak singgah di rumah salah seorang dari mereka.
Nabi mengatakan: “Biarkan unta itu berjalan, di mana ia berhenti, di situlah kami tinggal, karena unta itu telah ada yang memerintah”.
Perhatian ribuan orang pun tertuju pada unta Nabi yang bernama Qushwa, yang berjalan sendiri, seraya diikuti oleh semua orang. Orang-orang Madinah dalam hati kecilnya berharap, semoga unta itu berhenti di rumahnya.
Ternyata unta itu terus berjalan berbelok ke kanan ke kiri, lurus, belok lagi dan ketika sampai di tanah lapang yang luas tempat menjemur buah kurma, unta itu tiba-tiba berhenti kemudian berlutut beristirahat di lapangan itu.
Hal itu membuat semua orang berteriak dengan rasa haru dan bahagia. Mereka pun mengatakan:
“Di sini kami akan bangun masjid Rasulullah saw”.
BACA JUGA: Cek, Fungsi Payung Raksasa Masjid Nabawi
Pembangunan Awal Masjid Nabawi
Nabi ikut serta secara langsung dalam pembangunan masjid, membuat dinding lumpur di atas fondasi batu. Pelepah kurma digunakan untuk menutup sebagian atap.
Awalnya masjid itu memiliki tiga pintu dan menghadap Masjid Al-Aqsa sebagai kiblat pertama sebelum diubah menghadap Kabah di Mekkah.
Di bagian belakang masjid ada tempat yang teduh untuk menampung orang miskin dan orang asing, namanya “Al-Saffa”.
Ketika para sahabat meminta Nabi untuk memperkuat atap dengan lumpur, beliau menolak. Lantai masjid tidak ditutupi dengan apa pun hingga tiga tahun kemudian.
Luas awal masjid Nabawi hanyalah 1.050meter persegi sebelum diperluas menjadi 1.452 meter persegi atas perintah Nabi ketika beliau baru kembali dari Khaybar, tujuh tahun sesudah Hijrah.
Makam Nabi Muhammad Saw
Lokasi rumah Nabi awalnya berada di samping masjid, dan di sanalah Nabi wafat dan dimakamkan di ruang Aisyah. Ketika Nabi Muhammad wafat para sahabat berunding di mana Nabi akan dimakamkan.
Abu Bakar memberi tahu, Nabi pernah bersabda bahwa para nabi dimakamkan di tempat di mana Allah mencabut nyawa mereka. Maka, Nabi pun dimakamkan di kamar yang menjadi ruang bagi istrinya, Aisyah.
Ketika Abu Bakar sakit, ia meminta izin Aisyah agar bisa dimakamkan di dekat makam Nabi Muhammad, dan Aisyah setuju.
Umar bin Khattab — khalifah kedua — juga mengajukan permintaan yang sama dan Aisyah, yang merupakan anak Abu Bakar, juga mengizinkan.
Perluasan masjid selama berabad-abad membuat kamar, makam, dan bangunan di samping masjid kini menjadi bagian dari masjid.
Kubah Hijau yang terkenal kini terletak di dalam kamar ini. Perluasan pertama dilakukan di era khalifah Umar, dengan membeli lahan di kawasan barat, selatan dan utara masjid.
Penerus Umar, Usman, juga melakukan perluasan masjid setelah melakukan konsultasi dengan para sahabat pada 29 H atau pada tahun 650.
Perluasan terus dilakukan di era kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah yang membuat luas masjid bertambah menjadi 8.890 meter persegi dengan 60 jendela dan 24 pintu. Di era Usmani, juga dilakukan renovasi dan perluasan.
(Aak)