BANDUNG, TEROPONGMEDI.ID – Aroma kompetisi di lintasan MotoGP kembali tercemar oleh kontroversi aturan teknis, kali ini menyangkut tekanan ban depan.
Balapan sprint di Brno bukan hanya tentang kecepatan dan strategi, tapi justru berubah menjadi “permainan tekanan udara”, yang membuat banyak pebalap dan penggemar menggaruk kepala.
Di tengah panasnya adu cepat, publik dikejutkan oleh momen Marc Marquez yang secara tiba-tiba mengendurkan laju motornya.
Bukannya karena masalah teknis atau kelelahan, Marquez harus melambat lebih dari tiga detik hanya untuk memastikan tekanan ban depan tetap berada di atas 1.8 bar, seperti yang diwajibkan regulasi.
Tak lama setelahnya, giliran Francesco Bagnaia yang frustrasi karena peringatan tekanan ban di dasbor motornya ternyata keliru.
Ia mengira telah melanggar aturan, padahal tidak. Ini memperlihatkan bagaimana teknologi canggih justru menciptakan kebingungan di lintasan, bukan membantu performa.
Kisruh ini membuat Carl Fogarty, legenda World Superbike empat kali juara dunia, angkat suara. Lewat unggahan di media sosial, ia menyebut aturan tersebut sebagai “lelucon besar” dan mempertanyakan arah MotoGP yang dianggapnya “kian kehilangan ruh balap”.
“Siapa peduli tekanan ban kamu berapa?! Biarkan mereka balapan! Ini bukan soal angka, ini soal nyali dan skill,” tulis Fogarty penuh emosi.
Fogarty sendiri sejak lama menjadi suara kritis terhadap modernisasi MotoGP yang dianggapnya terlalu teknokratis.
Baca Juga:
CEO Ducati Ungkap Alasan Kecelakaan Marc Marquez di MotoGP Spanyol
Ia menilai dunia balap kini lebih sering diputuskan oleh sensor dan data dibandingkan duel murni antar manusia dan mesin.
Aturan tekanan ban ini memang dibuat demi alasan keselamatan. Ban dengan tekanan terlalu rendah bisa membahayakan pengendara.
Namun implementasinya dengan menghukum pebalap jika tekanan turun terlalu lama, bahkan ketika mereka sedang bertarung sengit membuat banyak pihak mempertanyakan, apakah aturan ini masih berpihak pada sportivitas?
Konflik antara data dan naluri, antara aturan dan kebebasan balap, kini jadi pusat perhatian. Marquez, Acosta, hingga Bagnaia mungkin berhasil menyelesaikan balapan tanpa penalti, tapi publik keburu kehilangan kenikmatan, balapan yang diatur bukan oleh strategi atau adrenalin, melainkan oleh barometer tekanan.
Seiring makin kerasnya suara dari paddock dan legenda balap, tuntutan agar Dorna dan FIM mengevaluasi ulang aturan tekanan ban semakin tak terelakkan.
Jika tidak, bisa jadi masa depan MotoGP akan semakin menyerupai simulasi, bukan lagi pertunjukan keberanian.
(Budis)