BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Belakangan ini, media sosial ramai memperbincangkan fenomena “sad food” yang dikaitkan dengan program makan gratis dari pemerintah. Foto dan video yang beredar di Instagram, TikTok, hingga X memperlihatkan tampilan makanan yang dianggap kurang menggugah selera. Warganet pun terbagi dua: ada yang mengkritik tampilan dan kualitas makanan tersebut, sementara yang lain melihatnya sebagai langkah positif untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
Tak sedikit orang bertanya-tanya, apakah program makan bergizi gratis (MBG) ini benar-benar memenuhi standar gizi atau sekadar formalitas belaka. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa penilaian ini terlalu didasarkan pada visual semata, tanpa mempertimbangkan nilai gizinya.
Mana yang Lebih Penting: Tampilan atau Gizi?
Salah satu alasan mengapa kontroversi ini mencuat adalah karena masyarakat sering kali menilai makanan dari tampilannya. Di era media sosial seperti sekarang, makanan yang “instagrammable” lebih menarik perhatian, sehingga makanan yang tampil biasa saja sering dianggap kurang berkualitas.
Padahal, tujuan utama dari program ini adalah memastikan masyarakat mendapatkan nutrisi yang cukup, bukan menyajikan makanan ala restoran mahal. Jika kritik muncul karena kualitas makanan yang benar-benar buruk, tentu wajar untuk dipermasalahkan. Tapi jika hanya karena tampilannya kurang menarik, bukankah itu jadi perdebatan yang kurang relevan?
Dampak Sosial dan Respons Masyarakat
Polemik ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat semakin kritis terhadap
kebijakan pemerintah, terutama yang menyangkut kesejahteraan publik. Di satu sisi, ini bisa menjadi dorongan bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas program. Tapi di sisi lain, jika kritik hanya berpusat pada tampilan makanan saja, kita bisa kehilangan fokus dari tujuan utamaprogram ini.
BACA JUGA:
BGN Klarifikasi Soal Anggaran Program MBG Disuntik
MBG Belum Sampai Babelan, Prabowo Langsung Telepon Kepala BGN
Sebagai masyarakat, kita bisa lebih konstruktif dalam menyampaikan masukan.Daripada sekadar mengkritik, mungkin lebih baik jika kita mengusulkan solusi, misalnya bagaimana makanan ini bisa dibuat lebih menarik tanpa mengorbankan kualitas gizi dan anggaran.
Peran Media Sosial dalam Membentuk Opini
Tidak bisa dimungkiri, media sosial punya pengaruh besar dalam membentuk persepsi publik. Foto atau video yang diunggah tanpa konteks sering kali menimbulkan kesalahpahaman. Begitu juga dalam kasus “sad food” ini banyak orang langsung bereaksi tanpa mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan.
Karena itu, penting bagi kita untuk lebih bijak dalam menyikapi informasi yang
beredar. Sebelum mengomentari sesuatu, ada baiknya kita mencari tahu lebih dalam agar tidak terjebak dalam opini yang keliru.
Kesimpulan
Viralnya “sad food” membuktikan bahwa masyarakat tidak hanya menilai makanan dari segi gizi, tetapi juga dari tampilannya. Kritik terhadap program makan gratis ini memang bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah, tetapi sebaiknya tetap mempertimbangkan konteks dan tujuan utama program tersebut.
Sebagai solusi, pemerintah bisa lebih transparan dalam menjelaskan program ini dan mencari cara agar makanan yang disediakan lebih menarik tanpa meningkatkan biaya produksi. Di sisi lain, masyarakat juga diharapkan lebih bijak.
Penulis:
Nazif Rahmawansyah dari Program Studi Komunikasi Digital Dan Media Sekolah Vokasi IPB University Angkatan 60