BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID – Wacana pembatasan fitur panggilan suara dan video di aplikasi populer seperti WhatsApp, FaceTime, Zoom, hingga Google Meet oleh pemerintah Indonesia menimbulkan kekhawatiran luas.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah merancang regulasi layanan VoIP (Voice over Internet Protocol) yang bisa mengubah cara masyarakat Indonesia berkomunikasi secara fundamental.
Bagi banyak orang, terutama pelajar, pekerja jarak jauh, diaspora Indonesia di luar negeri, dan pelaku UMKM, fitur WhatsApp Call dan video call bukan sekadar kenyamanan, melainkan kebutuhan.
Wacana ini dipicu oleh ketimpangan ekonomi digital antara operator telekomunikasi nasional dan perusahaan aplikasi asing yang disebut “penumpang bebas.”
Operator seperti Telkomsel dan XL Axiata mengklaim telah menggelontorkan investasi besar dalam pembangunan jaringan, sementara layanan OTT seperti WhatsApp, Instagram, dan Telegram memanfaatkan jaringan tersebut tanpa kontribusi langsung.
Namun bagi pengguna, pembatasan ini tampak seperti pemotongan akses publik.
“Kalau WhatsApp Call dibatasi, saya harus bagaimana meeting dengan klien dari luar kota tanpa biaya besar?” keluh seorang pelaku UMKM di Bandung.
Pemerintah merujuk pada kebijakan serupa di UEA dan Arab Saudi yang telah memblokir panggilan WhatsApp sejak lama.
Namun, kondisi geografis, ekonomi, dan penetrasi digital di Indonesia jauh berbeda. Di negara-negara tersebut, alternatif lokal disediakan dengan regulasi ketat.
Indonesia belum tentu memiliki solusi lokal yang bisa langsung menggantikan layanan global dengan kualitas dan jangkauan serupa.
Baca Juga:
CEK FAKTA: Penipuan Online Lewat WhatsApp
Siapa Saja yang Akan Terimbas?
Apabila kebijakan ini disahkan, fitur panggilan di platform berikut kemungkinan besar akan ikut dibatasi:
– Zoom
– Google Meet
– Telegram
– Facebook Messenger
– Skype
Fitur teks dan media sosial diperkirakan masih dapat diakses, namun fungsi komunikasi real-time akan sangat terbatas.
Pembatasan ini berpotensi menimbulkan dampak signifikan, terutama bagi UMKM yang kehilangan akses komunikasi efisien, biaya komunikasi meningkat karena kembali mengandalkan pulsa, juga pelajar dan tenaga kerja digital harus mencari alternatif yang belum tentu gratis atau mudah digunakan
Kendati masih dalam tahap kajian, sinyal pemerintah untuk meregulasi ini terbilang serius. Jika tidak dibatasi, Komdigi akan mewajibkan perusahaan OTT untuk memenuhi standar kualitas layanan (QoS) demi kenyamanan pengguna.
Pemerintah tentu memiliki kepentingan menjaga keadilan bisnis digital, namun masyarakat juga memiliki hak atas akses komunikasi yang murah dan efisien.
Tantangannya adalah menemukan solusi yang tidak hanya menguntungkan satu pihak, melainkan seluruh ekosistem digital, terutama para pengguna.
(Budis)