BANDUNG, SUAR MAHASISWA—Hari minggu, sekitar jam sembilan pagi, saya datang ke pasar tradisional. Pasar ini selalu rutin saya kunjungi untuk belanja mingguan. Dan pandangan saya selalu tertuju pada seorang pedagang tradisional yang duduk di antara hasil bumi yang dijualnya dengan ekspresi wajah yang tenang dan penuh dedikasi. Seperti bawang putih, cabai, kemiri dan bumbu dapur lainnya. ia mengenakan baju koko putih dan peci hitam yang terlihat sederhana tapi bagi saya justru itu yang membuat beliau menonjol di tengah riuh warna pasar.
Lalu di sampingnya, terparkir motor yang sedikit tua. Motor itulah yang setiap pagi setia membawanya menempuh jarak, mengangkut bawang, cabai, dan rempah dari rumah ke pasar. Di belakangnya, rimbun pepohonan menaungi dagangan, seolah meneduhkan peluh di keningnya. Bagi saya, motor tua dan naungan daun ini jadi saksi bisu bagaimana bapak ini bertahan di usia senja, tetap menjaga dapur orang-orang tetap berasap.
Melihatnya membuat saya belajar bersyukur bahwa lauk hangat di meja makan saya hari ini bukan datang begitu saja. Ada keringat yang menetes di pasar, ada tangan yang sabar menimbang, menata, dan menjaga harga tetap terjangkau.
Foto ini saya abadikan agar saya, dan siapa pun yang melihatnya ingat untuk selalu bersyukur setiap kali duduk di meja makan. Karena di balik satu genggam bawang di tumisan, ada peluh yang jatuh di pasar, ada tanggung jawab yang tidak pernah pensiun. Semoga tiap suap nasi yang kita telan, membuat kita lebih menghargai orang-orang yang diam-diam menjaga kita tetap kenyang.
Ahna Fitria Mumtahanah, Universitas Indonesia Membangun