CIAMIS, TEROPONGMEDIA.ID — Kementerian Kebudayaan bersama Rumah Naskah Nusantara menggelar Pameran Naskah Kuno di Kawasan Jambansari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (12/7/2025).
Sebanyak 10 naskah kuno peninggalan Bupati Galuh (1839-1886) Rd. Adipati Aria Kusumadiningrat dipamerkan, memuat catatan sejarah Pulau Jawa serta ajaran filosofi hidup masyarakat Sunda.
Pameran ini menjadi upaya memperkenalkan naskah beraksara Sunda dan Pegon kepada masyarakat.
Beberapa koleksi yang ditampilkan antara lain:
- Naskah Sewakadarma
- Naskah Carita Parahyangan
- Naskah Lampahing Para Wali Kabeh
- Naskah Bujangga Manik
Selain pameran, digelar pula acara spesial “Nyawang Bulan dan Pameran Naskah” di Amphitheatre Jambansari.
Kegiatan berlangsung mulai pukul 12.00 WIB hingga selesai, mengajak pengunjung menyelami kekayaan budaya Tatar Galuh.
BACA JUGA
Khidmatnya Maca Babad Cirebon di Keraton Kanoman: Warisan Budaya yang Relevan di Era Modern
Masyarakat diimbau untuk tidak melewatkan kesempatan menyaksikan langsung warisan leluhur ini. Acara terbuka untuk umum, dengan harapan dapat menarik minat generasi muda terhadap pelestarian naskah kuno.
Sejarah Kerajaan Galuh
Kerajaan Galuh (ᮊᮛᮏᮃᮔ᮪ ᮌᮜᮥᮂ) merupakan kerajaan bercorak Hindu yang pernah berdiri di wilayah antara Sungai Citarum di barat dan Sungai Cisarayu serta Cipamali (Kali Brebes) di timur.
Sebagai penerus Kerajaan Kendan yang berada di bawah kekuasaan Medang Kamulan, sejarah Galuh tercatat dalam Carita Parahiyangan, sebuah naskah berbahasa Sunda dari awal abad ke-16.
Awal mula kerajaan ini bermula ketika Rahiyangta ri Medangjati memerintah di Tanah Medang Kamulan (Jawa Tengah) selama 15 tahun, lalu kekuasaannya diwariskan kepada putranya, Sang Wretikandayun, yang memimpin Galuh.
Pada tahun 669 M, setelah kematian Linggawarman, raja Tarumanagara, kekuasaan jatuh ke tangan menantunya, Sri Maharaja Tarusbawa dari Sundapura.
Namun, Wretikandayun—yang telah memerintah Galuh sejak 612 M—memilih memisahkan diri dan mendirikan kerajaan merdeka.
Akhirnya, Galuh dan Sunda sepakat membagi wilayah dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Wretikandayun memiliki tiga putra: Rahiyang Sempakwaja (menjadi resi di Galunggung), Rahiyang Kidul (resi di Denuh), dan Rahiyang Mandiminyak.
Setelah 90 tahun berkuasa (612–702 M), tahta Galuh diwariskan kepada Mandiminyak, putra bungsunya. Dari Nay Pwahaci Rababu, Sempakwaja memiliki dua anak, Demunawan dan Purbasora.
Namun, hubungan keluarga menjadi rumit ketika Mandiminyak terlibat hubungan terlarang dengan iparnya, melahirkan Sena (Sang Salah).
Mandiminyak juga memiliki putri bernama Sannaha dari pernikahannya dengan Dewi Parwati, putri Ratu Sima dari Kartikeyasingha.
Sannaha kemudian menikah dengan Sena dan melahirkan Sanjaya (Rakryan Jambri). Setelah Mandiminyak wafat (709 M), Sena naik tahta, namun kekuasaannya direbut oleh Purbasora dan Demunawan pada 716 M, yang merasa lebih berhak atas tahta.
Akibatnya, Sena dan keluarganya mengungsi ke daerah timur, di sekitar Gunung Marapi, dan menikahi Dewi Citrakirana, putri Resi Padmahariwangsa dari Kerajaan Indraprahasta.
Konflik internal dan perebutan kekuasaan ini menjadi bagian penting dalam sejarah panjang Kerajaan Galuh sebelum akhirnya bersatu dengan Sunda di bawah pemerintahan Sanjaya.
(Aak)