BANDUNG, TEROONGMEDIA.ID — PT Sepatu Bata Tbk (BATA) belakangan ini ramai diperbincangkan pasca pabrik Bata di Purwakarta terpaksa ditutup lantaran penurunan permintaan sehingga mengakibatkan kerugian besar yang terus berulang dalam beberapa tahun terakhir.
Penutupan pabrik sepatu Bata di Purwakarta pun berimbas kepada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 233 pekerja.
Kondisi emiten BATA dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) semakin mengkhawatirkan.
Pendapatan anjlok serta mencatatkan rugi. Bahkan setelah beberapa tahun ekonomi Indonesia, sebagai lead indicator emiten ritel, pendapatan BATA masih belum kembali ke posisi sebelum Covid-19.
Tidak hanya itu, tingkat utang BATA pun meningkat signifikan. Walaupun dengan rasio solvency masih berada di batas aman, namun peningkatan ini bisa menjadi alarm performa BATA untuk tahun-tahun berikutnya.
Apalagi seiring dengan utang yang meningkat, bunga utang tiap tahun yang harus dibayarkan pabrik sepatu yang sudah melegenda di Bumi Pertiwi pun semakin menggerus laba operasional.
BATA yang saat ini sedang menapaki jalan berbatu sejak Covid-19 juga harus menerima terjangan dari pelemahan ekonomi global dan harga murah di berbagai platform digital.
Kerugian BATA mencapai Rp80 Miliar
Melansir CNBC, Senin (13/5/2024), menurut laporan keuangan perusahaan pada sembilan bulan 2023 (9M2023), pendapatan yang berhasil dikantongi senilai Rp488,48 miliar. Jumlah ini lebih rendah Rp2,1 miliar atau -0,4% dibandingkan periode yang sama pada 2022 (year-on-year/yoy)).
Menurut segmen usaha, penurunan penjualan terjadi untuk ritel dan industri, Sementara penjualan di e-commerce dan ekspor meningkat.
Meskipun pendapatan perusahaan sedikit turun, namun beban pokok yang meningkat Rp13,35 miliar atau 4,7% yoy membuat laba kotor perusahaan anjlok 7,5% yoy. Hal ini berimbas kepada marjin laba kotor yang makin menyempit.
Pada 9M2023, marjin laba kotor perusahaan mencapai 39,23%, lebih kecil dibandingkan 9M20222 yakni 42,21%.
Meskipun kinerja top line BATA cenderung stabil, namun bottom line perusahaan mengalami kerugian yang makin dalam. Penyebabnya adalah tingginya biaya penjualan dan pemasaran serta administrasi dan umum yang membuat BATA mengalami rugi usaha.
Pada 9M2023, jumlah beban penjualan dan pemasaran BATA sebesar Rp158,84 miliar. Sementara jumlah administrasi dan umum sebesar Rp74,93 miliar.
Total kedua beban ini adalah Rp233,78 setelah dikalkulasikan kerugian pelepasan aset dan rugi usaha lainnya, maka rugi usaha senilai Rp42,52 miliar.
Jumlah beban meningkat makin membebani rugi BATA yang sudah besar tersebut. Tercatat pada periode Januari hingga September 2024, BATA harus mengeluarkan kocek Rp9,89 miliar untuk membayar bunga utang. Jumlah tersebut setara 5% dari laba kotor yang diperoleh perusahaan.
BACA JUGA: Manajemen Kalibata City Tanggapi Usai Penangkapan Artis Epy Kusnandar
Beban pajak penghasilan badan semakin menggerus rugi usaha yang sudah mendera BATA. Jumlahnya mencapai Rp28,32 miliar.
Sehingga rugi perusahaan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai Rp80,45 miliar. Rugi tersebut jauh lebih parah ketimbang 9M2022 senilai Rp20,34 miliar.
Utang mencapai 300%!
Performa keuangan BATA saat ini masih jauh dibandingkan sebelum adanya Covid-19, khususnya dari segi profitabilitas.
Penjualan perusahaan pada 2023 jika menggunakan metode trailing twelve month (TTM) diperkirakan akan mencapai Rp641,36 miliar. Jumlah tersebut baru mencapai 70% dari penjualan pra pandemi. Pada 2019, perusahaan berhasil membukukan Rp931,27 miliar.
Adanya pandemi Covid-19 membuat penjualan BATA jatuh. Pada 2020 penjualan BATA hanya tercatat Rp459,58, anjlok 50,65% yoy.
(Dist)