BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Teknologi digital saat ini telah berkembang sangat pesat hingga melahirkan masyarakat cyber di seluruh dunia. Dari sinilah lahir komunikasi global, di mana informasi, budaya, politik, norma, dan etika saling bertukar dan menyebar dengan cepat melintasi batas negara.
Komunikasi global atau komunikasi internasional, menurut Hakim dan Nurazia (2021), adalah komunikasi yang dilakukan oleh seorang pembicara yang mewakili suatu negara untuk menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan negaranya kepada penerima pesan dari negara lain.
Komunikasi global berperan besar dalam isu sosial yaitu kampanye #BlackLivesMatter pada tahun 2020. Dikutip dari CNN, gerakan ini muncul sebagai respons terhadap kematian George Floyd (Pria berkulit hitam) yang dibunuh oleh Derek Chauvin (Polisi berkulit putih) dan kekerasan rasial di Amerika Serikat.
Melalui media sosial, kampanye ini menyebar ke seluruh dunia, menunjukkan kuatnya komunikasi global dan solidaritas masyarakat digital dalam merespons isu #BlackLivesMatter. Fenomena ini menjadi perhatian internasional karena komunikasi global telah menghapus batas geografis dalam penyebaran informasi.
Namun, komunikasi global tidak selalu membawa dampak positif. Ia juga dapat menjadi saluran penyebaran disinformasi lintas negara. Salah satu contohnya terjadi pada masa pandemi COVID-19, banyak hoaks tersebar tentang asal-usul virus, informasi medis palsu, hingga klaim vaksin yang tidak jelas menyebar luas dan memicu ketakutan serta penolakan di masyarakat.
Baca Juga:
Mengenal Kekerasan Seksual Digital: Dari Edukasi hingga Healing di “Safe and Grow”
Hal ini disebabkan oleh ketimpangan dalam penyebaran informasi yang benar, sehingga informasi palsu lebih cepat menyebar dan lebih mudah dipercaya.
Dampaknya, komunikasi global yang tidak terkendali dapat memengaruhi opini publik secara global, memicu konflik antarnegara, dan menimbulkan berbagai tantangan seperti mispersepsi akibat hambatan bahasa, perbedaan budaya, benturan etika dan politik, serta kesenjangan teknologi yang menghambat akses informasi.
Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan tersebut, diperlukan peningkatan literasi digital agar masyarakat mampu memilah dan memahami informasi secara kritis. Regulasi media yang adil dan transparan juga penting untuk mencegah penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan dominasi budaya asing.
Selain itu, penguatan konten lokal dan penanaman etika bermedia sangat diperlukan agar komunikasi global dapat berjalan secara sehat, setara, dan tetap menghargai keberagaman.
( Azizah Salsabila/ Ilmu Komunikasi, Universitas Bhakti Kencana)