BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Di tengah arus globalisasi dan modernisasi budaya, warisan budaya tradisional Sunda terus menunjukkan eksistensinya. Salah satunya yaitu sebuah pertunjukan unik yang masih bertahan hingga kini yang dikenal sebagai Usik Sanyiru, sebuah kolaborasi antara pencak silat, musik tradisional, dan atraksi keseimbangan di atas nyiru atau tampah anyaman bambu khas masyarakat agraris Sunda.
Usik Sanyiru berkembang di wilayah Priangan Timur sejak awal abad ke-20 khususnya di Kabupaten Tasikmalaya. Pada awalnya, para pesilat tradisional menggunakan nyiru sebagai media latihan untuk meningkatkan fokus, keseimbangan, dan keluwesan gerakan tubuh. Permukaan bundar dan tidak stabil dari nyiru memberikan tantangan yang tinggi, sekaligus menjadi sarana pengendalian diri.
Seiring berjalannya waktu, latihan tersebut berubah menjadi seni pertunjukan yang kaya akan nilai estetika. Iringan alat musik tradisional seperti kendang, suling, dan goong melengkapi penampilan para pesilat yang melakukan jurus-jurus silat di atas nyiru. Menariknya, nyiru tersebut tidak hanya digunakan oleh perorangan tetapi juga dapat digunakan oleh dua pesilat yang saling beradu jurus di atas nyiru.
Tak bisa dipisahkan dari seni bela diri tradisional, Usik Sanyiru sangat dipengaruhi oleh aliran Silat Panglipur, yang berkembang di Tasikmalaya sejak abad ke-19. Kata panglipur dalam bahasa Sunda berarti penghibur atau pelipur lara. Filosofi ini menggambarkan bahwa bela diri tidak hanya soal pertarungan fisik, tetapi juga tentang keharmonisan batin dan keindahan ekspresi tubuh.
Silat Panglipur dikenal dengan gerakan yang lentur, ritmis, dan anggun. Keindahan ini menjadi ciri khas dalam Usik Sanyiru, di mana seni bela diri disajikan dalam format pertunjukan yang menuntut konsentrasi tinggi dan keterampilan luar biasa. Kombinasi gerakan silat dan seni pertunjukan di atas nyiru menjadikan Usik Sanyiru berbeda dari seni bela diri lainnya—lebih artistik, filosofis, dan sarat makna budaya.
Hingga kini, semangat pelestarian Usik Sanyiru masih terus dijaga oleh komunitas budaya di berbagai daerah. Salah satu yang konsisten melestarikan kesenian ini adalah Padepokan Pasir Ipis di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Padepokan ini menjadi tempat pembinaan generasi muda yang ingin mendalami Silat Panglipur sekaligus teknik atraksi di atas nyiru.
Di Padepokan Pasir Ipis, para murid tidak hanya berlatih teknik fisik, tetapi juga diajarkan nilai-nilai etika, spiritualitas, dan rasa hormat terhadap budaya leluhur. Selain sebagai tempat pelatihan, padepokan ini juga aktif menggelar pertunjukan budaya, pelatihan umum, dan edukasi kebudayaan bagi masyarakat luas.
Kegiatan di padepokan ini juga terbuka untuk wisatawan yang ingin merasakan langsung kearifan lokal Sunda. Beberapa program latihan dan pertunjukan bahkan dikemas dalam bentuk experience culture bagi pengunjung domestik maupun mancanegara. Hal ini menjadi salah satu strategi pelestarian yang adaptif di era digital dan pariwisata budaya yang terus berkembang.
Tak hanya sekadar seni pertunjukan, Usik Sanyiru juga mengandung nilai-nilai pendidikan karakter, seperti ketekunan, keberanian, dan pengendalian diri. Pesilat yang tampil harus memiliki disiplin tinggi, karena kesalahan kecil saat mempertahankan keseimbangan dapat berakibat fatal. Maka dari itu, pertunjukan ini bukan hanya tentang ketangkasan fisik, tetapi juga soal kepekaan batin dan mental yang terlatih.
BACA JUGA
Nata Daya, Program Penguatan Seni Budaya di Kabupaten Kuningan
Misteri Pendekar Silat Cimande: Jejak Abah Khaer yang Tak Terungkap
Para pelaku budaya berharap, perhatian terhadap kesenian seperti Usik Sanyiru tidak hanya datang dari komunitas dan padepokan, tetapi juga dari pemerintah dan institusi pendidikan. Dukungan berupa pembinaan, promosi budaya, serta ruang tampil di acara nasional dan internasional sangat dibutuhkan agar kesenian ini tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang secara berkelanjutan.
Kehadiran padepokan seperti Pasir Ipis menjadi penanda bahwa tradisi Sunda belum punah. Sebaliknya, Usik Sanyiru justru menemukan ruang baru untuk berkembang dan dikenalkan kepada generasi muda sebagai bentuk kebanggaan dan identitas budaya lokal yang perlu dirawat bersama. Di tengah derasnya arus modernisasi, seni tradisi ini tetap berdiri tegak, menjadi saksi kekayaan budaya yang tak lekang oleh zaman.
(Daniel Oktorio Saragih/Magang/Aak)