BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Sidharta Gautama, seorang bayi laki-laki yang lahir pada tahun 586 SM, di sebuah wilayah subur, Kapilavastu. Ia lahir dari sebuah kerajaan yang cukup terkenal pada masa itu.
Hidup dan besar di dalam istana yang mewah dengan segala fasilitasnya, Sidharta Gautama menikah pada usia 16 tahun dengan Yoshordara.
Ia menikahi perempuan dari keturunan raja, dan dari pernikahan tersebut lahirlah seorang putra bernama Rahula. Keluarga kecil ini hidup bahagia, dalam lingkungan istana.
Awal Pencarian Spiritual
Salah satu kebiasaan Sidharta Gautama adalah belajar dari berbagai guru. Pada usia 29 tahun, ia mulai memasuki kajian spiritual, termasuk mendalami makna kehidupan dan kematian.
Ia kemudian meninggalkan istana, berkelana di hutan belantara yang penuh dengan binatang, burung, dan pepohonan. Di sana, ia menyelami arti kehidupan bersama alam yang masih asli pada waktu itu.
Kehidupan di Hutan Belantara
Di hutan belantara, Sidharta Gautama bertemu dengan sejumlah biara atau biksuka (sannyasins) yang menghabiskan hidup dalam kesunyian alam untuk meraih kebebasan spiritual yang disebut Moksha.
Dari mereka, ia mendapatkan pelajaran kearifan khusus, sehingga semakin merasakan kedamaian alam semesta.
Ia menghabiskan hari-harinya belajar dari alam dan berdiskusi dengan beberapa resi yang telah lama menjalani kehidupan meditatif di alam terbuka itu.
Pengalaman Mistis dan Pencerahan
Sebagai anak yang cerdas, ia terus bermeditasi dan mendalami arti kehidupan. Pada suatu pagi, ia mengalami pengalaman mistis yang menarik.
Ia melihat cahaya misteri yang mengajarinya berbagai kearifan, sebagaimana tercantum dalam Dhammapada, salah satu kitab penting dalam agama Buddha.
Sidharta Gautama kemudian menjadi sosok penting dalam agama Buddha, bahkan ada yang mengatakan lebih mulia daripada dewa, tetapi tetap sebagai manusia, bukan dewa atau Tuhan.
Konsep Ketuhanan dalam Agama Buddha
Konsep ketuhanan YME dalam agama Buddha berbeda dengan agama-agama lain, khususnya agama-agama samawi (Abrahamic religions).
Dalam kitab Sutta Pitaka, Udana VII, dijelaskan bahwa Tuhan YME dalam bahasa Pali adalah Atthi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam, subjek yang dipersepsikan sebagai Tuhan yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, tetapi keberadaan-Nya Maha mutlak.
Kemahaesaannya tanpa “aku” (anatta), tidak dapat dipersonifikasikan, dan tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun.
Peran Meditasi dan Konsep Kebebasan
Keberadaannya tidak berkondisi (asankhata), berbeda dengan makhluk seperti manusia yang berkondisi (sankhata).
Manusia yang berusaha mencapai kebebasan dari lingkaran hidup yang penuh kesengsaraan (samsara) harus aktif bermeditasi, yaitu perenungan suci terhadap hakikat alam semesta.
Dalam kitab suci Tripitaka dijelaskan bahwa tidak hanya konsep ketuhanannya yang berbeda, tetapi juga konsep asal-usul alam semesta, manusia, kiamat, dan keselamatan.
Nonteisme dalam Agama Buddha
Konsep ketuhanan dalam agama Buddha lebih bersifat nonteistik, yakni tidak menekankan keberadaan Tuhan Sang Pencipta, tetapi bagaimana mengejawantahkan sifat buddhisme.
Buddha Gautama tidak dilukiskan sebagai Tuhan, tetapi sebagai pembimbing yang menunjukkan jalan menuju Nirwana.
Buddha Gautama jarang menyebut kata Tuhan, tetapi lebih menekankan pentingnya kesucian perilaku dalam menjalani kehidupan.
Pragmatisme dan Etika dalam Agama Buddha
Mungkin karena alasan ini, ahli perbandingan agama melihat agama Buddha lebih menonjol sebagai ajaran moral.
Beberapa khotbah Buddha Gautama cenderung menunjukkan bahwa penyembahan kepada banyak Tuhan atau Dewa Dewi membebani kebebasan manusia, meskipun masih ada pengakuan terhadap Brahma sebagai Tuhan.
Buddha Gautama pernah membiarkan Tuhan menjadi pencipta, tetapi manusia harus memelihara kesucian ciptaan Tuhan. Kesempurnaan kesucian adalah inti ketuhanan, dan kesucian itu harus ada pada setiap manusia.
Tujuan Akhir dalam Agama Buddha
Bagi agama Buddha, tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebuddhaan (annutara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati di mana batin manusia tidak lagi mengalami proses tumimbal lahir.
Manusia tidak memerlukan bantuan dari pihak lain, termasuk Dewa-Dewi. Jika ingin selamat, manusia harus menjelmakan sifat dan sikap kebuddhaan dalam dirinya.
Namun, Buddha sendiri bukan Tuhan dan tidak pernah diklaim sebagai Tuhan oleh pengikutnya.
Kolaborasi dengan Agama Lain
Agama Buddha tidak menekankan peran Tuhan sebagaimana agama-agama besar lainnya.
Agama Buddha lebih menekankan “pragmatisme”, mengutamakan tindakan cepat dan tepat yang diperlukan untuk menyelamatkan hidup seseorang yang mengalami masalah.
Oleh karena itu, budi pekerti selalu menjadi hal yang substansial dalam agama Buddha. Kolaborasi dengan agama lain mudah karena agama Buddha tidak memiliki sistem birokrasi spiritual yang rumit.
Keselarasan dengan Pancasila
Umat Buddha Indonesia tidak pernah bermasalah dengan redaksi Pancasila, terlebih pada sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
BACA JUGA: Mengenal Pantangan Tradisi Thudong Jelang Hari Waisak Umat Buddha
Meskipun agama Buddha tidak banyak menyinggung Tuhan dalam misi ajarannya, tak seorang pun warga penganut agama Buddha mengingkari keberadaan Tuhan.
Hal tersebutlah yang menjadikan komunitas penganut Buddha dengan agama lain, mudah cair.
(Vini/Aak)