BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Ditengah maraknya penyalahgunaan teknologi, Pemerintah Denmark sedang menyusun peraturan baru untuk penegasan dan menyusun regulasi baru untuk mempertegas perlindungan hak cipta atas wajah dan suara.
Teknologi deepfake dan cloning suara berkembang pesat hingga mampu menciptakan rekaman palsu yang nyaris tak terdeteksi. Dari penipuan hingga penyebaran konten yang mencemarkan nama baik, risiko penyalahgunaan kian mengancam privasi banyak orang.
Denmark menilai situasi ini tak bisa lagi dibiarkan tanpa regulasi yang jelas. Pemerintah Denmark mendorong Uni Eropa merumuskan kebijakan bersama untuk memberi perlindungan hukum bagi warga negara.
Kebijakan tersebut mencakup hak untuk mengontrol penggunaan citra wajah dan rekaman suara, baik untuk tujuan komersial maupun distribusi di media sosial. Pasalnya tak hanya selebritas atau tokoh publik, warga biasa juga rentan menjadi korban manipulasi visual dan audio.
Baca Juga:
Vidi Aldiano Ungkap Perjuangan Jalani Kemo di Malaysia, Absen Sidang Hak Cipta!
Vidi Aldiano Terlibat Kasus Pelanggaran Hak Cipta, Hari Ini Sidang Gugatan!
Rekaman suara palsu sudah sering dipakai dalam modus penipuan telepon yang terdengar meyakinkan. Belum lagi penyebaran video deepfake yang bisa merusak reputasi seseorang.
Dilansir dari The Guardian, Menteri Kebudayaan Denmark, Jakob Engel-Schmidt, mengatakan, “Dalam RUU ini, kami ingin mengirimkan pesan tegas bahwa setiap orang berhak atas tubuh, suara, dan ciri-ciri wajah mereka sendiri, yang sayangnya belum sepenuhnya dilindungi oleh hukum saat ini.” Ia juga menambahkan, “Manusia kini bisa digandakan melalui mesin fotokopi digital dan disalahgunakan untuk berbagai tujuan, dan saya tidak ingin menerima hal itu.”
Jika disahkan, langkah ini akan menjadikan Denmark sebagai negara pertama di dunia yang memberikan perlindungan hukum semacam itu terhadap eksploitasi digital identitas pribadi, yang berpotensi memengaruhi kebijakan teknologi di banyak negara lain.
Meski begitu, tantangan implementasi tetap besar. Penegakan hukum lintas negara, definisi legal mengenai kemiripan dalam konteks AI, hingga potensi benturan dengan kebebasan berekspresi menjadi persoalan yang harus dipecahkan..
Dengan ini Denmark telah menegaskan niatnya untuk mendorong standar internasional baru. Jika berhasil, langkah ini bisa menjadi model bagi negara-negara lain dalam menghadapi gelombang disrupsi dari AI generatif
Penulis:
Ravly Kaeza Gumelar
Jurusan : Manajemen Bisnis Telekomunikasi Informatika(MBTI)
Universitas : Telkom University.