BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Modernisasi dan perubahan gaya hidup manusia membawa dampak besar pada peningkatan berbagai masalah kesehatan, salah satunya adalah insidensi kanker. Kemajuan teknologi di era Revolusi Industri 4.0 telah membuka peluang besar untuk mengembangkan agen antikanker yang lebih efektif dan spesifik.
Para peneliti kini memanfaatkan pemahaman mendalam tentang protein-protein yang berperan dalam perkembangan kanker. Hal demikian bertujuan untuk merancang obat yang lebih akurat menargetkan sel kanker tanpa merusak sel sehat di sekitarnya.
Dengan banyaknya protein yang terlibat dalam regulasi dan perkembangan sel kanker, analisis big data dan bioinformatika menjadi alat yang sangat penting untuk mengidentifikasi target yang tepat.
Big Data dan Bioinformatika dalam Penemuan Obat
Menurut Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. apt. Adam Hermawan, S.Farm., M.Sc, teknologi canggih dan akses terhadap big data menawarkan solusi baru dalam penemuan obat. Big data mencakup informasi biologis, kimia, farmakologi, dan klinis yang dapat digunakan dari tahap validasi target hingga uji klinik.
“Saya hanya akan berfokus pada aplikasi big data dalam penemuan protein target antikanker”, ungkapnya saat menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar di Balai Senat UGM, mengutip laman resmi UGM, Jumat (22/11/2024).
Adam menjelaskan analisis big data menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI), Machine Learning (ML), dan bioinformatika terintegrasi telah berkembang pesat dalam lima tahun terakhir. Penggunaan teknologi ini untuk memilih biomarker, mengidentifikasi target protein, menentukan kandidat obat, hingga memprediksi sensitivitas obat.
“AI telah memungkinkan penemuan molekul baru, mempercepat desain obat, dan mempercepat uji klinik fase awal. Lebih dari 50 persen molekul yang ditemukan dengan AI dan diuji pada fase klinik I adalah molekul antikanker,” jelasnya.
Keberhasilan Uji Klinik Molekul Berbasis AI
Adam juga menyoroti tingginya tingkat keberhasilan molekul dengan rancangan menggunakan AI pada uji klinik fase I, yang mencapai 80-90 persen. Keberhasilan ini mendapat dukungan dari validasi biologis yang kuat dan jalur molekuler yang sudah teruji, sehingga toksisitas obat dapat terminimalisir.
Namun, pada uji klinik fase II, terdapat temuan tingkat keberhasilan molekul dengan AI hanya mencapai 40 persen. Hal ini karena fase II difokuskan untuk membuktikan konsep dan mekanisme biologis yang direkomendasikan AI terkait target penyakit dan jalur sinyal yang relevan.
“Dengan kemajuan AI yang terus berkembang, kami optimis tingkat keberhasilan pada uji klinik fase lanjutan akan meningkat, memungkinkan pengembangan obat antikanker yang lebih efektif dan aman,” tutupnya.
BACA JUGA: UGM Masuk Daftar 1201-1500 Universitas Terbaik Dunia dalam THE WUR 2025
Pengembangan agen antikanker ini memberikan harapan baru pada pasien kanker.
Perpaduan big data, AI, dan bioinformatika membuka babak baru dalam dunia farmasi.
(Virdiya/Usk)