JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), M Kholid sikap seiras dengan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang menyatakan bahwa kritik yang disampaikan di ruang digital tidak dapat dipidana lantaran hanya memunculkan kegaduhan atau perdebatan di media sosial.
Ia berpandangan, putusan tersebut menjadi tonggak penting bagi perlindungan kebebasan berpendapat dan penguatan demokrasi.
“Kritik itu seperti vitamin. Mungkin terasa pahit, tapi justru itulah yang menyehatkan demokrasi. Putusan MK ini merawat nilai-nilai substantif dari demokrasi. Negara yang kuat justru dibangun dari keberanian dan kejujuran dalam mendengar dan menjawab kritikan masyarakat dengan bijak dan matang,” ujar Kholid dalam keterangan tertulisnya, Minggu (4/5).
Putusan MK itu memperjelas bahwa istilah “kerusuhan” yang terkandung dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hanya berlaku untuk gangguan di ruang fisik, bukan keributan di media sosial.
BACA JUGA:
Revisi Kedua UU ITE Dinilai Ancam Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers
MK juga menegaskan, bahwa frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE tidak relevan institusi pemerintah, jabatan publik, profesi, ataupun korporasi. Dengan begitu, suatu negara lembaga tidak bisa mengadukan pencemaran nama baik atas dasar kritik publik.
Kholid sebagai legislator menilai, putusan tersebut sebagai bentuk koreksi konstitusional yang arif. Ia menegaskan bahwa hukum semestinya hadir untuk melindungi warga, bukan menakut-nakuti mereka yang menyuarakan pendapat.
“Kebebasan berekspresi adalah fondasi utama demokrasi. Jika kritik dipidanakan, maka yang tumbuh bukan kemajuan, melainkan kecurigaan dan rasa takut sesama anak bangsa,” ungkapnya.
Meski demikian, Kholid mengingatkan pentingnya penguatan literasi digital agar kebebasan ini tidak disalahgunakan. Menurutnya, ruang kebebasan ekspresi harus dijaga agar tetap etis dan bertanggung jawab.
“Kita tidak ingin masyarakat buta terhadap makna kebebasan yang sejati. Putusan MK ini harus menjadi pemicu tumbuhnya public sphere yang sehat di mana warga bisa berdiskusi, mengkritik, dan turut membangun negeri tanpa rasa takut. Tapi tentu dengan cara yang cerdas dan bertanggung jawab,” tambahnya.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE, terutama terkait Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4). MK menyatakan bahwa frasa “orang lain” dalam pasal tersebut tidak berlaku untuk lembaga, institusi, atau kelompok tertentu, yang selama ini rawan digunakan untuk membungkam kritik publik.
Dalam pertimbangannya, MK menyebut terdapat ketidakjelasan dalam batasan “orang lain” yang bisa menjadi korban pencemaran nama baik. Padahal dalam Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023 yang akan berlaku mulai 2026, telah ditegaskan bahwa yang dimaksud sebagai korban adalah perseorangan, bukan institusi atau kelompok.
Selain itu, MK juga mengacu pada Pasal 45 ayat (7) UU ITE yang menyatakan bahwa perbuatan yang menyerang kehormatan atau nama baik tidak dapat dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau sebagai bentuk pembelaan diri. Dalam penjelasannya, kepentingan umum tersebut mencakup aktivitas berekspresi, seperti unjuk rasa dan kritik terhadap pemerintah.
“Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenakan terhadap pencemaran yang ditujukan kepada orang perseorangan,” tegas Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
(Saepul)