Koalisi Masyarakat Sipil Minta Pembaruan RUU KUHAP Jangan Buru-buru, Ingatkan Pelanggaran HAM!

Penulis: Saepul

ruu kuhap
(Instagram/ketua_dprri)
[galeri_foto] [youtube_embed]

Bagikan

JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID — Koalisi Masyarakat Sipil untuk pembaruan KUHAP masih banyak kajian yang harus menjadi catatan dalam Revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Komisi  III DPR pun diminta agar tak buru-buru dalam melakukan pengesahan.

“Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai Draft RUU KUHAP yang dipublikasikan DPR (versi 20 Maret 2025) masih memiliki banyak catatan,” kata Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam keterangan resminya, Kamis (04/04/2025).

Ia menilai, RUU KUHAP belum bisa menjadi tolok ukur dalam praktik masalah sehari-hari (UU Nomor 8/1981), tidak akuntabel, tidak adil dan tidak memihak pada kepntingan hak-hak rakyat Indonesia.

Ia menyebut, masih banyak yang harus dibahas secara mendalam agar tidak berpotensi pada pelanggaran HAM dalam proses peradilan pidana.

“Sedangkan di sisi lain, DPR terkesan buru-buru dalam membahas RUU KUHAP. Menurut Ketua Komisi III DPR RI, target pembahasan RUU KUHAP tidak akan melebihi 2 (dua) kali masa sidang, sehingga paling lama akan disahkan sekitar Oktober-November 2025,” ujarnya.

BACA JUGA:

Isu Ridwan Kamil Selingkuh Berkembang, Maudy Asmara: Tetap Kawal Cabut UU TNI!

RUU KUHAP: DPR Atur Penggunaan CCTV Rumah Tahanan

Isnur menjelaskan, secara keseluruhan tersusun 334 pasal dengan rincian total daftar inventarisasi masalah yang perlu dibahas sebanyak 1570 pasal/ayat pada bagian tubuh dan 590 pasal/ayat pada bagian penjelasan.

Namun, justru DPR malah melakukan dalam waktu yang terolong singkat.

“Dengan demikian, tidak masuk akal jika pembahasan terhadap RUU KUHAP dilakukan secara mendalam hanya dalam beberapa bulan,” katanya.

Mereka menyoroti sembilan masalah krusial dalam RUU KUHAP yang seharusnya bisa terselesaikan.

Pertama, mereka memberikan catatan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel.

Kemudian kedua, mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) serta ketersedian ruang kompalin untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum ke aparat.

Berikutnya, pembaruan prosedur standar pelaksanaan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan yang objektif dan berorientasi pada perlindungan HAM.

Isnur mengatakan, seharusnya ada jaminan seluruh tindakan tersebut harus dengan izin pengadilan sedangkan pengecualian untuk kondisi mendesak tanpa izin pengadilan diatur secara ketat, serta dalam waktu maksimal 48 jam pasca orang ditangkap harus dihadapkan secara fisik ke muka pengadilan untuk dinilai bagaimana perlakuan aparat yang menangkap dan apakah dapat selanjutnya perlu penahanan.

Isnur menegaskan,  jaminan peran advokat yang diperkuat dalam melakukan pembelaan terutama pemberian akses untuk mendapatkan atau memeriksa semua berkas/dokumen peradilan dan bukti-bukti memberatkan, perluasan pemberian bantuan hukum yang dijamin oleh negara dan pemberian akses pendampingan hukum tanpa pembatasan-pembatasan, hingga mengklarifikasi fungsi advokat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kelima, akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan ats pengawasan (controlled delivery).

Menurut Isnur, seharusnya  diperlukan pembatasan jenis-jenis tindak pidana pidana yang dapat diterapkan dengan teknik investigasi khusus, syarat dapat dilakukannya kewenangan ini, serta jaminan bahwa kewenangan ini harus berbasis izin pengadilan. Kewenangan ini tidak boleh dilakukan pada penyelidikan, tidak boleh penyidik yang menginisiasi niat jahat melakukan tindak pidana.

Secara jelas pada masing-masing kebutuhan tindakan bukan hanya mengacu pada 2 (dua) alat bukti di awal untuk terus menerus digunakan sebagai alasan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan lainnya.

pada poin kedelapan, akuntabilitas dalam penyelesaian perkara di luar persidangan, harus ada perbaikan konsep restorative justice yang saat ini hanya dipahami sebagai penghentian perkara.

kesembilan, penguatan hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, dan korban, perlu ada kejelasan mekanisme restitusi sebagai bentuk pemulihan kerugian korban mulai dari proses pengajuan hingga pembayaran dana diterima korban.

(Saepul)

Baca berita lainnya di Google News dan Whatsapp Channel
Berita Terkait
Berita Terkini
Lembaga paling dipercaya
Hasil Survei: Presiden dan TNI Jadi Lembaga Paling Dipercaya
Sekolah Swasta
Hasan Hasbi Ungkap Pemerintah Masih Kaji Putusan MK Gratiskan Sekolah Swasta
EVOS Esports
EVOS Esports dan CBN Fiber Resmi Lanjutkan Kerjasama Strategis
Kanwil DJP Jawa Barat II - APBN Jawa Barat
Hingga April 2025, APBN Jawa Barat Surplus Rp8,36 Triliun
Impor Singkong
Sejahterakan Petani, Wamentan Pastikan Larangan Impor Singkong
Berita Lainnya

1

Ratusan Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Raih Inspirasi Baru di Acara Creative Workshop JNE

2

Tok! Tidak Hanya SD-SMP Negeri, MK Perintahkan Negara Gratiskan Sekolah Swasta

3

Ini Syarat dan Cara Daftarkan Anak ke Barak Militer

4

RUPTL PLN 2025–2034, Targetkan Investasi Rp2.967 Triliun dan 1,7 Juta Lapangan Kerja

5

Daftar Pajak Isuzu Panter 2024, Lengkap Semua Tipe!
Headline
Chelsea
Link Live Streaming Real Betis vs Chelsea Final UEFA Conference League 2024/25 Selain Yalla Shoot
Jam malam Dedi Mulyadi
Bentuk Generasi Muda Berkarakter, Aturan Jam Malam Bagi Siswa Disahkan KDM 
Manchester United Kakang Rudianto
Jelang Hadapi Manchester United, Kakang Rudianto Ingin Tampil Maksimal
Satpol PP Amankan 17 Orang Asusila dan 213 Botol Minol Disita
Satpol PP Amankan 17 Orang dan 213 Botol Minol Disita

Dapatkan fitur lebih lengkap di aplikasi Teropong Media.