BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Imam al-Ghazali, salah satu ulama terkemuka dalam sejarah Islam, dikenal tidak hanya sebagai ahli teologi dan filsafat, tetapi juga sebagai seorang sufi. Namun, sebelum mencapai pencerahan spiritual, Imam al-Ghazali mengalami fase keraguan yang mendalam, bahkan hingga membuatnya tidak mampu mengajar atau menjalani kehidupan normal.
Mengutip artikel Ahmad Fuad Ruhiyat, Ketua STIT Manggala, dalam kitab Al-Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali mengisahkan bagaimana ia mencapai titik skeptisisme tertinggi setelah mendalami ilmu Kalam, Filsafat, dan al-Talim atau kebatina).
Keraguan ini membuat Imam al-Ghazali mengalami penderitaan batin yang hebat. Bahkan ia tidak mampu mengajar, lidahnya kelu, hatinya sedih.
“Bahkan makan dan minum pun terasa sulit,” tulis sang Imam.
Seorang dokter ahli di Baghdad mendiagnosis bahwa al-Ghazali tidak menderita penyakit fisik, melainkan penyakit hati dan pikiran.
Dokter itu menyarankan agar al-Ghazali membebaskan jiwanya dari kesedihan. Selama enam bulan, al-Ghazali mengalami tarik-menarik antara godaan duniawi dan dorongan spiritual untuk mengejar akhirat (Tujadibu al-Syahwat al-Dunya wa Dawa’iy al-Akhirah).
Memilih Jalan Sufi
Pada akhirnya, al-Ghazali memutuskan untuk meninggalkan Baghdad, kota tempat ia menikmati jabatan tinggi, harta melimpah, dan ketenaran sebagai ulama besar.
Ia memilih uzlah (mengasingkan diri) dan menempuh perjalanan spiritual ke Syam (Suriah). Sebelum berangkat, ia membagikan hartanya kepada yang membutuhkan dan meninggalkan segala kemewahan duniawi.
Selama di Syam, al-Ghazali menyibukkan diri dengan uzlah, khalwat (menyendiri), riyadhah (latihan spiritual), dan mujahadah (perjuangan batin).
Ia menghabiskan waktu siangnya di menara Masjid Damaskus, kemudian melanjutkan perjalanan ke Baitul Maqdis dan Masjid Nabawi di Madinah.
Membaca dan Menyelami Samudera Sufisme
Sebelum memulai perjalanan spiritualnya, al-Ghazali telah membaca karya-karya para sufi terkemuka seperti Abu Thalib al-Maki, Harits al-Muhasibi, Junaid al-Baghdadi, dan Abu Yazid al-Busthami.
Namun, ia menyadari bahwa memahami sufisme tidak cukup hanya dengan membaca. “Aku lebih suka berenang ke tengah samudera dan tenggelam ke dasarnya,” tulisnya dalam Jawahir Al-Qur’an. Al-Ghazali menemukan bahwa jalan sufisme memerlukan pengalaman langsung (dauq) dan perjalanan spiritual (suluk).
“Aku telah menemukan pemahaman dan keistimewaan pada diri seorang sufi, dan aku tidak akan bisa mengikuti jalan mereka hanya dengan belajar dan mendengarkan saja,” katanya.
Fana: Puncak Perjalanan Spiritual
Setelah kurang lebih 10 tahun menjalani kehidupan spiritual, al-Ghazali mencapai tingkat fana (lebur dalam Tuhan), sebuah pengalaman spiritual yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Dalam Al-Munqidz min al-Dhalal, ia menggambarkan pengalaman ini sebagai tersingkapnya tirai penutup (al-Mukasyafah) dan penyaksian (al-Musyahadah) terhadap malaikat dan arwah para nabi.
“Fana adalah ujung dari perjalanan para pencari, tetapi awal bagi para kekasih sejati,” tulis al-Ghazali.
Ia mengibaratkan perjalanan sufisme seperti salat: dimulai dengan bersuci (thaharah) hati dari segala hal selain Allah, diikuti dengan takbiratul ihram (hati yang tenggelam dalam zikir), dan diakhiri dengan salam (fana kepada Allah).
BACA JUGA
Kisah Imam al-Ghazali dan Seekor Lalat yang Menjadi Penghantarnya ke Surga
Warisan Spiritual al-Ghazali
Kiai Ulil Abshar Abdalla, seorang cendekiawan Muslim kontemporer, menyebut al-Ghazali sebagai sosok langka yang mampu menceritakan pengalaman intelektual dan spiritualnya dengan begitu mendalam.
“Tidak banyak ulama sufi seperti al-Ghazali yang mampu menggambarkan kondisi batinnya dengan begitu detail,” ujar Kiai Ulil.
Al-Ghazali meninggalkan warisan besar bagi dunia Islam, tidak hanya melalui karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin dan Al-Munqidz min al-Dhalal, tetapi juga melalui perjalanan hidupnya yang menginspirasi.
Ia membuktikan bahwa kebenaran hakiki tidak ditemukan dalam harta, jabatan, atau ketenaran, tetapi melalui penyucian hati dan kedekatan dengan Sang Pencipta.
(Aak)