JAKARTA, TEROPONGMEDIA.ID –Pengamat politik dari UPN “Veteran” Yogyakarta , Ludiro Madu menilai bahwa kedaulatan nasional menjadi salah satu isu penting dalam mewujudkan kepentingan nasional Indonesia. Istilah kedaulatan terkesan klise, tapi memiliki arti strategis dalam khazanah pertahanan negara.
Kedaulatan nasional secara sederhana dapat didefinisikan sebagai prinsip fundamental dalam hukum internasional yang menegaskan bahwa setiap negara berdaulat memiliki yurisdiksi eksklusif atas wilayah teritorialnya, termasuk wilayah darat, perairan teritorial, dan ruang udara di atasnya.
“Kedaulatan nasional mencakup kekuasaan untuk membuat dan menegakkan hukum, menentukan kebijakan domestik dan luar negeri, serta mengontrol akses dan penggunaan sumber daya alam dalam yurisdiksinya,” kata Ludiro kepada Teropongmedia.id, Jumat (24/5/2024).
Ludiro menyebutkan, isu kedaulatan nasional Indonesia menjadi semakin relevan ketika dihadapkan pada potensi ancaman keamanan eksternal.
“Salah satunya adalah ancaman ke(tidak)amanan di kawasan perairan terdekat, yaitu Laut China Selatan (LCS),” ujar Ludiro.
Menurut Ludiro, kawasan itu dikenal sebagai kawasan strategis yang sarat dengan sengketa teritorial di antara beberapa negara di Asia Tenggara dan Tiongkok atau China.
Meskipun bukan negara penuntut (claimant state), Indonesia memiliki kepentingan nasional yang kompleks di LCS, mencakup aspek ekonomi, keamanan, dan kedaulatan.
Kepentingan-kepentingan tersebut menjadi basis bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam mewujudkan LCS sebagai sea of peace. Secara ekonomi, LCS memiliki arti penting bagi Indonesia karena kekayaan sumber daya alamnya.
“Kawasan ini diperkirakan menyimpan 11 miliar barel minyak bumi dan 190 triliun kaki kubik gas alam,” sebutnya.
Khusus di perairan Natuna yang berbatasan dengan LCS, Indonesia memiliki cadangan gas alam terbesar di Asia Tenggara yakni 46 triliun kaki kubik (TCF) yang terletak di Blok East Natuna. Potensi migas ini sangat vital untuk menjamin ketahanan energi dan penerimaan negara Indonesia.
Selain itu, sektor perikanan di Natuna juga menyumbang nilai ekonomi hingga 500 triliun rupiah per tahun. Namun di sisi lain, ancaman pencurian ikan (illegal fishing) merugikan Indonesia sekitar 3 miliar dolar AS setiap tahunnya.
Kepentingan ekonomi tersebut berkaitan erat dengan kepentingan keamanan Indonesia di LCS. Sebagai negara kepulauan, keamanan jalur pelayaran internasional melalui LCS menjadi prasyarat vital bagi kelancaran perdagangan Indonesia. LCS dilintasi oleh Sea Lanes of Communication (SLOC) utama yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dimana 40% perdagangan global melewatinya (Schofield & Storey, 2009).
BACA JUGA: LCS4 Ton Ikan Impor Asal Tiongkok di Banjarmasin Berhasil Disegel KKP
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa gangguan keamanan di LCS, baik karena perompakan, terorisme, maupun konflik terbuka, dapat mengganggu kepentingan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, menjaga stabilitas dan perdamaian di LCS menjadi kepentingan strategis Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Menlu Retno Marsudi, “Ketidakstabilan di kawasan akan berdampak negatif bagi semua. Tidak ada yang diuntungkan dari konflik” (Kemlu RI, 2020).
Kepentingan keamanan ini terkait pula dengan kepentingan kedaulatan Indonesia atas wilayah perairannya, khususnya di Natuna yang berbatasan langsung dengan LCS. Meskipun tidak terlibat sengketa wilayah, Indonesia menghadapi tantangan terkait klaim historis Tiongkok atas LCS yang ditandai dengan nine-dash line.
Klaim tersebut tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di utara Natuna. Indonesia dengan tegas menolak klaim Tiongkok dan menegaskan bahwa tidak ada overlapping claim antara kedua negara. Untuk menegakkan kedaulatan, Indonesia telah meningkatkan kehadiran militernya di Natuna, termasuk membangun pangkalan militer terpadu dan melaksanakan latihan perang secara rutin (Laksmana, 2011).
Kendati demikian, Indonesia tetap mengedepankan pendekatan dialog dan kerja sama dengan Tiongkok dalam kerangka hubungan strategis kedua negara.
Ketiga kepentingan nasional tersebut mendorong Indonesia untuk mengambil peran konstruktif dalam upaya mewujudkan sea of peace di LCS. Konsep ini pertama kali disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam KTT Asia Timur di Manila tahun 2017. Untuk mewujudkan visi tersebut, Indonesia mengedepankan pendekatan kerja sama ekonomi sebagai modalitas untuk mengelola sengketa secara damai.
Dia menambahkan, Indonesia meyakini bahwa saling ketergantungan ekonomi dapat menciptakan kepentingan bersama (common interests) yang mengikat negara-negara untuk menahan diri dari konflik (Natalegawa, 2018).
“Untuk itu, Indonesia aktif mempromosikan kerja sama praktis di bidang-bidang non-tradisional seperti perikanan, perlindungan lingkungan laut, keselamatan navigasi, riset kelautan, dan penanggulangan bencana di LCS (Kemlu RI, 2019),” ucapnya.
Salah satu inisiatif utamanya adalah mendorong terwujudnya Code of Conduct (COC) di LCS sebagai instrumen untuk mengelola perilaku negara-negara secara damai. Indonesia menjembatani negara-negara ASEAN dan Tiongkok dalam perundingan COC dengan menekankan pentingnya substansi yang efektif dan timeline yang jelas.
Namun, peran itu menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Sebagai natural leader di ASEAN, Indonesia berkomitmen mendorong negosiasi COC itu sejak 2011. Sedangkan, China kekeuh untuk menolak perundingan di tingkat regional ASEAN dan menuntut negosiasi bilateral.
Persoalan lainnya adakah rendahnya kohesivitas di antara negara-negara anggota ASEAN (Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei) yang memiliki klaim terhadap LCS. China dengan mudah menawarkan manfaat relatif (relative gains) yang berbeda ke setiap negara itu. Akibatnya, Indonesia memiliki kesulitan menjalankan diplomasi regionalnya ketika kepentingan nasional dari masing-masing negara itu lebih diuntungkan oleh pendekatan bilateral China.
Sementara itu, kata dia, dalam konteks Indo-Pasifik, Indonesia juga menginisiasi ASEAN Outlook on Indo-Pacific. Inisiatif itu menjadi kerangka kerja sama inklusif yang menempatkan ASEAN sebagai sentral dalam arsitektur kawasan.
Pendekatan sea of peace yang diusung Indonesia ini sejalan dengan prinsip politik luar negeri bebas aktif. Melalui pendekatan itu, Laut China Selatan harus dikelola menjadi kawasan yang stabil dan damai.
Sebagai negara non-claimant, Indonesia dapat terus berkontribusi secara konstruktif sesuai dengan prinsip politik luar negeri kita yang bebas aktif. Pemerintahan baru Indonesia di bawah kepemimpinan kepemimpinan Presiden terpilih Prabowo Subianto diyakini mempunyai menegaskan kedaulatan Indonesia melalui berbagai inisiatif keamanan regional.
“Melalui kerja sama ekonomi dan diplomasi aktif, Indonesia memiliki komitmen menjaga kedaukatan dan kepentingan nasionalnya sebagai bagian strategis dari kontribusinya bagi perdamaian dan stabilitas di LCS,” ungkapnya.
(Agus Irawan/Usk)