BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Di kaki Candi Cangkuang, Kabupaten Garut, tersembunyi sebuah kampung adat bernama Pulo yang masih memegang teguh adat istiadat leluhur. Kampung ini menjadi saksi bisu peralihan budaya dari masa Hindu ke Islam di Nusantara.
Kampung Adat Pulo telah ada sejak abad ke-8, ketika masyarakatnya masih menganut agama Hindu. Keberadaan pengaruh Hindu terlihat jelas pada peninggalan berupa Candi Cangkuang yang terletak di dekat kampung tersebut.
Pada abad ke-17, Eyang Embah Dalem Arif Muhammad datang ke daerah tersebut untuk menyebarkan agama Islam. Beliau membangun Kampung Pulo dengan enam rumah dan satu mushala, melambangkan anak-anaknya.
Warisan Leluhur
Masyarakat Kampung Pulo saat ini merupakan keturunan Eyang Embah Dalem Arif Muhammad. Tatang, Juru Pelihara Kampung Adat ini, yang merupakan generasi kedelapan, menjelaskan bahwa kampung ini dihuni oleh generasi kedelapan, kesembilan, dan kesepuluh.
Pantangan dan Kepercayaan
Kampung Adat Pulo memiliki sejumlah pantangan. Di antaranya:
- Tidak boleh berziarah hari Selasa sampai Rabu.
- Tidak boleh ada dua kepala keluarga yang menetap dalam satu rumah.
- Tidak boleh membangun rumah yang beratap jurey.
- Harus membangun rumah memanjang.
- Tidak boleh memukul gong besar.
- Tidak boleh menyimpan peliharaan kaki empat yang besar seperti sapi, kerbau, dan kambing.
Menurut kepercayaan setempat, melanggar aturan tersebut akan membawa malapetaka bagi masyarakat setempat.
BACA JUGA : Alasan Dibalik Nama Kampung Naga di Tasikmalaya
Kuliner Khas Kampung Adat Pulo
Makanan khas Adat Pulo tidak jauh berbeda dengan kudapan khas Jawa Barat, yaitu burayot, seroja, dan opak gogondoh. Makanan ini telah banyak beredar di luar Kampung Pulo.
Kampung ini merupakan bukti nyata tentang keberagaman budaya dan sejarah di Indonesia. Kampung ini menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi bagi para wisatawan yang ingin mengenal lebih dekat budaya dan tradisi masyarakat Jawa Barat.
(Hafidah Rismayanti/Budis)