JAKARTA,TEROPONGMEDIA.ID— Direktur Lembaga Riset Institute for Demographic and Affluance Studies (IDEAS), Haryo Mojopahit meminta Pemerintah dan Pihak Aplikator menjamin kesejahteraan mitra ojek online (Ojol). Dia mencermati setidaknya ada empat masalah utama yang terjadi antara Pihak Aplikator dan Mitra Ojol.
“Ada empat persoalan utama yang harus menjadi perhatian bersama yaitu pertama, terkait jam kerja dan penghasilan yang layak. Kedua, risiko kerja dan jaminan kesehatan. Ketiga, posisi kemitraan yang setara dan adil antara pihak aplikator terhadap mitra ojol. Keempat, pengelolaan kerja yang tidak partisipatif dan keterwakilan yang tidak memadai,” kata Haryo dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (29/08/2024).
Survei yang dilakukan IDEAS pada 2023 yang lalu terhadap 225 pengemudi ojol di 10 titik simpul transportasi di Jabodetabek mengkonfirmasi hal tersebut.
“Pertama, survei tersebut mengungkap fakta bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebanyak 68,9 persen pengemudi ojol di Jabodetabek mengaku harus bekerja antara 9-16 jam per hari, hal tersebut jauh lebih lama dari jam kerja normal 8 jam per hari,” tutur Hayo.
Haryo menambahkan, bahwa selain jam kerja yang panjang, sebanyak 79,6 persen responden memiliki 6-7 hari kerja, melebihi batas normal 5 hari kerja. Bahkan 42,2 persen responden mengaku setiap hari bekerja tanpa libur dalam sepekan.
“Jika menggunakan asumsi 24 hari kerja, kami mendapatkan fakta bahwa rerata pendapatan kotor bulanan ojek daring secara umum berada dibawah upah minimum kota. Sebagai misal, rerata pendapatan kotor bulanan pengemudi ojol di Kota Bekasi adalah Rp 3,9 juta atau hanya sekitar 79 persen dari upah minimum kota yang Rp 5,0 juta,” ungkap Haryo.
Kedua, risiko kerja dan jaminan kesehatan. Kombinasi waktu kerja yang sangat panjang dan tempat utama kerja adalah jalan raya membuat mitra ojol terpapar dan memiliki risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Dengan sebagian besar waktu kerja dihabiskan di jalan raya, dikombinasikan dengan kondisi tubuh yang kelelahan akibat jam kerja yang panjang, mengalami kecelakaan menjadi tidak terhindarkan.
“Sebanyak 31,6 persen responden mengaku pernah mengalami kecelakaan selama menjadi mitra ojol, dengan 2,7 persen diantaranya mengalami luka berat dan motor rusak berat,” tutur Haryo.
Namun ironisnya, dengan sifat dan desain pekerjaan yang membuatnya terpapar risiko tinggi kecelakaan, mitra ojol tidak dilindungi dengan jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja yang memadai.
“Sebesar 35,1 persen responden mengaku tidak memiliki jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan). Hanya 12,9 persen dari responden yang memiliki BPJS Kesehatan karena bantuan atau difasilitasi oleh perusahaan aplikator,” ucap Haryo.
Ketiga, posisi kemitraan yang setara dan adil antara pihak aplikator terhadap mitra ojol. IDEAS menyoroti hubungan kemitraan antara aplikator dan mitra ojol yang cenderung merupakan satu arah dimana pihak aplikator memiliki relasi kuasa yang nyaris mutlak terhadap mitra ojol.
“Hubungan satu arah tanpa interaksi timbal balik ini terjadi karena rendahnya daya tawar mitra ojol. Lemahnya daya tawar mitra ojol terlihat rendahnya respon pihak aplikator atas aspirasi pihak mitra,” ujar Haryo.
Survei IDEAS juga mengungkapkan bahwa hanya 4,9 persen responden yang menyatakan aspirasinya direspon positif dan ditindaklanjuti dengan cepat oleh pihak aplikator. Sedangkan 81,3 persen responden menyatakan aspirasi mereka hanya direspon secara “basa-basi” melalui aplikasi atau bahkan tidak pernah direspon sama sekali dimana semua aspirasi diabaikan sepenuhnya.
Posisi yang tidak setara dan adil antara pihak aplikator dan mitranya sangat terlihat jelas dari besarnya insiden pemberian sanksi ke mitra ojol, yang umumnya dilakukan secara sepihak, berupa pembekuan akun (suspend) yang berlaku dari 30 menit hingga 7 hari.
“Sebanyak 45,3 persen responden mengaku pernah terkena suspend untuk berbagai alasan, mulai dari sering menolak atau membatalkan order, mendapat rating yang rendah dari pelanggan, sering menyampaikan keluhan ke pihak aplikator, saldo top-up sering tidak mencukupi, hingga spesifikasi motor yang tidak sesuai dengan ketentuan aplikator,” beber Haryo.
Keempat, pengelolaan kerja yang tidak partisipatif dan keterwakilan yang tidak memadai. Akar penyebab kerentanan mitra ojol dari eksploitasi kerja adalah keterwakilan yang sangat tidak memadai dalam pembuatan keputusan-keputusan penting dimana pihak aplikator sangat mendominasi hubungan kemitraan.
Pekerja dan buruh pada umumnya meningkatkan daya tawar mereka di hadapan perusahaan dengan mengorganisasikan diri dan menyuarakan aspirasi mereka secara kolektif. Namun perusahaan aplikator tidak mengakui adanya serikat pekerja dengan alasan ojol adalah mitra yang memiliki hubungan setara.
“67,1 persen responden menyatakan bahwa perusahaan aplikator secara eksplisit melarang mitra ojol untuk bergabung atau membentuk serikat pekerja. Ketidakpatuhan terhadap aturan ini dapat berimplikasi serius bagi mitra ojek online mulai dari terkena suspend bahkan putus mitra” papar Haryo.
BACA JUGA: Driver Ojol di Jogja Protes: BBM Naik Dua Kali Lipat ,Tapi Tarif Tetap
Rendahnya daya tawar ojek online membuat mereka dipaksa menerima berbagai keputusan penting yang dibuat pihak aplikator secara sepihak tanpa melibatkan mereka sama sekali.
Arah kebijakan yang menjanjikan ke depan adalah mendorong keterwakilan yang lebih memadai bagi mitra ojol, bahkan transformasi kelembagaan platform digital menjadi koperasi. Dengan kelembagaan koperasi, platform digital akan dimiliki, dikontrol dan dikendalikan oleh pekerja lepas-nya.
“Dengan keterwakilan yang memadai, aspirasi mitra ojol yang kini terbungkam, akan dapat disuarakan dengan lebih keras dan diakomodasi secara lebih proporsional,” tutup Haryo.
(Agus Irawan/Usk)