BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Sejarah kebudayaan Jawa penuh dengan mitos yang kerap mencampuri fakta sejarah. Salah satu contohnya adalah sejarah berdirinya Kerajaan Mataram, yang dihubungkan dengan legenda Nyi Roro Kidul, sang penguasa Laut Selatan.
Secara faktual, situs Kerajaan Mataram masih dapat ditelusuri hingga saat ini, meskipun kerajaan tersebut telah terbagi menjadi dua kasunanan: Yogyakarta dan Surakarta.
Namun, mitos Nyi Roro Kidul yang berkaitan dengan pendiri Kerajaan Mataram, Panembahan Senapati, telah menyelimuti kerajaan ini dengan aura magis.
Tidak ada bukti kuat mengenai keberadaan Nyi Roro Kidul. Namun, mitos ini muncul pada masa berdirinya Kerajaan Mataram dan diwariskan turun-temurun hingga kerajaan terpecah. Ironisnya, keberadaan Nyi Roro Kidul telah mengakar kuat dalam keyakinan sebagian masyarakat Jawa.
Keyakinan masyarakat terhadap Nyi Roro Kidul hampir selalu berkaitan dengan Panembahan Senapati. Mitos dan legenda Nyi Roro Kidul baru muncul setelah Panembahan Senapati berkuasa.
Meskipun fakta mengenai Nyi Roro Kidul masih menjadi tanda tanya, popularitasnya yang diyakini memiliki hubungan khusus dengan Panembahan Senapati dan keturunannya telah dicatat dalam berbagai tembang Jawa.
Mitos Nyi Roro Kidul justru memperkuat legitimasi raja. Hubungan raja dengan Nyi Roro Kidul dianggap positif, berbeda dengan hubungan dengan makhluk halus lain seperti Nyi Blorong yang dianggap negatif.
Asal-usul Nyi Roro Kidul masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan bahwa ia adalah Putri Kadita, Ratna Suwida, atau Dewi Nawang Wulan, yang dibuang karena terkena guna-guna.
Ada juga yang berpendapat bahwa ia adalah jelmaan bidadari. Namun, tradisi Mataram sendiri percaya bahwa Nyi Roro Kidul adalah putri Pajajaran yang diusir karena menolak perkawinan yang diatur ayahnya. Raja Pajajaran mengutuknya menjadi ratu roh halus di Laut Selatan.
BACA JUGA : Asal-Usul Tarian Jathilan dalam Kesenin Reog Ponorogo
Masyarakat Keraton Yogyakarta
Meskipun banyak orang meragukan keberadaan Nyi Roro Kidul, masyarakat Keraton Yogyakarta, khususnya, meyakini kebenaran ceritanya.
Hubungan antara Nyi Roro Kidul dengan Keraton Yogyakarta, sebagaimana tertulis dalam Babad Tanah Jawi, semakin memperkuat keyakinan akan keberadaan Nyi Roro Kidul.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Nyi Roro Kidul hanyalah simbol, bukan sosok nyata. Y. Argo Twikromo dalam bukunya “Ratu Kidul” menyebutkan bahwa masyarakat Jawa mementingkan keharmonisan dan keseimbangan hidup.
Karena alam memiliki kekuatan yang lebih hebat, simbolisasi untuk berkomunikasi dengan lingkungan.
Javanisme mengenal para penguasa makhluk halus, termasuk Nyi Roro Kidul sebagai penguasa Laut Selatan. Di Kesultanan Yogyakarta, keempat penguasa makhluk halus, termasuk Nyi Roro Kidul, diyakini membantu kepentingan kerajaan. Untuk mencapai keharmonisan, raja harus berkomunikasi dengan mereka.
Bagi para Raja Jawa, berkomunikasi dengan makhluk halus, khususnya Nyi Roro Kidul, merupakan upaya untuk memperoleh kekuatan batin dalam mengelola negara.
Kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul masih diaktualisasikan dalam berbagai kegiatan masyarakat Jawa, seperti upacara labuhan, yang diadakan untuk kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.
Tari Bedaya Lambangsari dan Bedaya Semang juga diselenggarakan untuk menghormati Nyi Roro Kidul.
Sumur Gumuling di Kompleks Taman Sari sebagai tempat bertemunya sultan dengan Nyi Roro Kidul.
Meskipun mitos Nyi Roro Kidul erat kaitannya dengan Kesultanan Yogyakarta, kepercayaan terhadapnya juga berlaku bagi masyarakat di wilayah kesultanan. Orang hilang di pantai Laut Selatan diyakini “diambil” oleh Nyi Roro Kidul.
Babad Tanah Jawi mencatat bahwa Nyi Roro Kidul berjanji untuk menjaga Kerajaan Mataram dari malapetaka. Pementasan tari Bedoyo Ketawang, yang diselenggarakan setahun sekali, juga mengundang Nyi Roro Kidul.
Kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul bahkan meluas ke Jawa Barat, dengan keberadaan kamar hotel bernomor 308 di Samudra Beach, Pelabuhan Ratu, khusus untuk Nyi Roro Kidul.
Sampai saat ini, legenda Nyi Roro Kidul masih menjadi legenda yang spektakuler dan mendarah daging bagi sebagian masyarakat Jawa, terutama Keraton Yogyakarta.
(Hafidah Rismayanti/Aak)