BANDUNG, TEROPONGMEDIA.ID — Pemda Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) akui rewel dalam urusan inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga komoditas yang tak terkendali.
Sekda Jabar Herman Suryatman menegaskan, ancaman paling mengkhawatirkan dari inflasi adalah menurunnya daya beli masyarakat, yang berujung pada kemiskinan.
“Kalau daya beli turun, maka konsumsi akan turun. Kalau konsumsi turun, masyarakat pasti miskin,” kata Sekda Herman di kantor BPS Jabar, Kota Bandung, Kamis (2/5/2024).
Ketika inflasi terkendali, harga-harga cenderung tetap terjangkau bagi masyarakat. Dengan demikian, daya beli masyarakat tetap terjaga karena mereka dapat membeli barang dan jasa dengan harga yang sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka.
Daya beli yang terjaga akan mendorong konsumsi yang baik, yang pada gilirannya dapat membantu mengurangi tingkat kemiskinan.
Ini membentuk siklus dimana pengendalian inflasi menjadi kunci dalam menjaga stabilitas ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
BACA JUGA: Pemkot Bandung Terus Kendalikan Inflasi Melalui Buruan SAE
Menurutnya, 4 hal yang sangat memerlukan perhatian serius terkait pengendalian inflasi, yakni:
1.. Menjaga harga-harga dapat tetap terjangkau.
2. Pentingnya kepastian pasokan barang dan jasa.
3. Komunikasi yang efektif antartingkatan pemerintahan, mulai dari tingkat provinsi, kabupaten hingga desa dengan memanfaatkan data sebagai basis komunikasi.
4. Ada kabupaten yang diberikan atensi khusus, yang harus menjaga konsistensi, lalu kabupaten kota harus elaborasi dan berkolaborasi dengan pemerintah provinsi.
Lebih efektif
Herman menambahan, dengan memanfaatkan data statistik dari BPS, Pemdaprov Jabar dapat memantau dan mengendalikan inflasi dengan lebih efektif.
Ini juga memungkinkan bagi pemda kabupaten kota untuk berperan aktif dalam upaya pengendalian inflasi di wilayah mereka masing-masing.
Pada kesempatan tersebut, Herman juga menyoroti pentingnya literasi statistik masyarakat dan ASN yang perlu ditingkatkan.
Literasi statistik seharusnya dapat menjadi fondasi penting dalam pengambilan keputusan yang efektif baik di tingkat individu, keluarga, maupun pemerintahan.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tingkat literasi statistik di masyarakat masih terbatas.
“Teman-teman BPS terbuka secara online, data-data ini bisa diakses kapan saja dan di mana saja. Pertanyaannya, berapa banyak yang mengakses data-data itu untuk mengambil keputusan di perusahaan, lingkungan keluarga, dan lebih jauh, di pemerintah,” katanya.
“Ini menjadi PR. Kami akan koordinasi dengan teman-teman dari Perpusnas, Kementerian Pendidikan, dan dari multistakeholder,” sambung Herman.
Menurut data, hanya sekitar 0,01 dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat dalam membaca.
Herman berharap mudah-mudahan dari 0,01 tersebut termasuk individu yang tertarik dengan bidang statistik.
“Kita akan konsultasikan sehingga ke depan, bagaimana data-data BPS ada di perpustakaan desa, di taman baca sehingga masyarakat didekatkan dengan data statistik, yang pada akhirnya mereka memanfaatkan. Tentu harus ada sosialisasi edukasi agar masyarakat mengerti,” pungkasnya.
(Aak)