Gerindra: Wacana Pembatalan Putusan MK Tak Miliki Dasar Hukum!

putusan MK gerindra
Ilustrasi. (x)

Bagikan

JAKARTA,TM.ID: Juru Bicara Partai Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi, Munafrizal Manan mengatakan, tidak ada dasar hukum yang jelas terkait dengan wacana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak sah dan dapat dibatalkan.

Munafrizal mengatakan, bahwa MK merupakan lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat.

Oleh karena itu, kata dia, tidak ada upaya hukum yang bisa menilai putusan MK tersebut tidak sah, kemudian membatalkannya.

“Wacana tentang putusan MK tidak sah, kemudian dapat dibatalkan tidak punya dasar hukum kuat,” kata Munafrizal dalam keterangan resmi diterima di Jakarta, Jumat (27/10/2023).

Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mewajibkan hakim mengundurkan diri apabila mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, menurut dia, sulit dijadikan dasar hukum untuk membatalkan putusan MK.

Hal tersebut, kata Munafrizal, karena ada benturan norma hukum antara ketentuan hukum yang lebih tinggi dan yang lebih rendah.

BACA JUGA: Awalnya Banyak Tak Setuju Gibran Rakabuming Jadi Cawapres Prabowo, Sekarang Berbalik

Putusan MK bersifat final

Ia menegaskan, bahwa dasar hukum putusan MK bersifat final adalah UUD NRI Tahun 1945 yang secara hierarki lebih tinggi daripada UU Kekuasaan Kehakiman.

“Tidak dapat dan tidak boleh hukum lebih rendah menganulir hukum lebih tinggi,” tegas dia.

Selain itu, lanjut dia, tidak ada ketentuan yang mengatur tentang prosedur dan mekanisme pemeriksaan ulang perkara yang telah diputus dan membatalkan putusan MK.

“Ketentuan Pasal 17 ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman in concreto hanya dapat dilaksanakan untuk lembaga-lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung yang sifat putusannya tidak serta-merta final karena ada hierarki kelembagaan bertingkat (pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali),” paparnya.

Ia mengatakan bahwa tidak ada ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, UU Mahkamah Konstitusi, ataupun Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang di MK yang mengatur prosedur dan mekanisme pemeriksaan ulang dan putusan ulang atas perkara yang sudah diputus.

Oleh karena itu, dia menilai perdebatan yang muncul di kalangan masyarakat tentang putusan MK tersebut menunjukkan perlunya pembenahan internal MK, yakni dengan menyempurnakan hukum acara dan tata kelola penanganan perkara yang lebih jelas dan tegas.

“Agar hal seperti itu tidak terjadi lagi dan bilamana terjadi lagi, sudah tersedia ketentuan solutif untuk menyelesaikannya,” imbuh Munafrizal.

Menurut dia, MK juga perlu membuat pedoman baku tentang penerapan judicial activism (aktivisme yudisial) dan judicial restraint (pembatasan yudisial) sebagai rambu bagi para hakim konstitusi untuk menjaga konsistensi seluruh putusan MK dan kepastian konstitusional.

Sebelumnya, Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah.

Dalam gugatannya, Almas memohon syarat pencalonan peserta pilpres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.

Putusan itu menjadi kontroversi karena dinilai sarat konflik kepentingan. Laporan masyarakat yang menduga adanya pelanggaran kode etik hakim konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara itu kemudian bermunculan.

Atas dasar itu, dibentuklah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang telah memulai rapat klarifikasi pada hari Kamis (26/10).

Munafrizal menilai, pro dan kontra atas suatu putusan perkara yang diputus oleh lembaga peradilan adalah hal biasa karena ada pihak yang merasa puas dan tidak puas.

Dalam konteks putusan MK, dia mengakui bahwa sifat asli kewenangan MK, termasuk wewenang pengujian undang-undang, berkaitan erat dengan dimensi politik.

“Penilaian orang atas putusan MK akan dipengaruhi oleh kecenderungan persepsi, preferensi, dan kepentingan politik orang yang menilainya,” imbuh dia.

Namun begitu, Munafrizal meyakini hakim konstitusi memiliki independensi dalam memutus setiap perkara.

Oleh karena itu, dia mengatakan bahwa laporan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi harus berdasar pada bukti kuat.

“Laporan dugaan pelanggaran etik terhadap para hakim konstitusi tentu harus didasarkan pada bukti yang kuat, dan diharapkan putusan MKMK nanti tidak menimbulkan kegaduhan baru,” kata Munafrizal.

(Dist)

Baca berita lainnya di Google News dan Whatsapp Channel
Berita Terkait
Berita Terkini
Paula Verhoeven
Paula Verhoeven Ajak Kiano Bermain di Playground
Rieke Diah Pitaloka
Rieke Diah Pitaloka Desak KPPU Rilis Data Impor Gula 10 Tahun Terakhir
Metode belajar matematika anak paud
Seperti Apa Metode Belajar Matematika untuk Anak PAUD?
Eks Asisten Paula
Eks Asisten Bongkar Tabiat Paula Verhoeven Soal Bon Belanja
Direktur Utama (Dirut) PT LEN Industri (Persero) Bobby Rasyidin, Mobil Maung Pindad
5.000 Unit Mobil Maung Ditarget Rampung Akhir Tahun Ini
Berita Lainnya

1

Cek Fakta : Kloning Babi dan Sapi di China?

2

Sampah Makanan Bergizi Gratis akan Diolah jadi Pupuk

3

Bikin Macet, Paku Bumi Jatuh di Jalan Buah Batu - Soekarno Hatta Bandung

4

Daftar Pajak Isuzu Panther, Semua Tipe Lengkap!

5

CSIIS Ungkap Tom Lembong Penghancur Industri Gula Nasional
Headline
AMSI Jabar Pelatihan Cek Fakta 1
Amsi Jabar Gelar Pelatihan Cek Fakta, Hindari Menguatnya Mis-informasi Jelang Pilkada
Jorge Martin Kuasai Sirkuit Phillip Island
Jadi yang Tercepat di Sirkuit Sepang, Jorge Martin OTW Juara MotoGP 2024
timnas Indonesia
27 Pemain Timnas Indonesia Dipanggil Jelang Laga Versus Jepang dan Arab Saudi, 2 Pemain Absen
Siklon Tropis Penyebab Suhu Panas Meningkat
BMKG Sebut Siklon Tropis Penyebab Suhu Panas Meningkat