BANDUNG, TM.ID: Flexing atau pamer harta kekayaan di media sosial sedang ramai diperbincangkan. Salah satunya, pelaku penganiayaan David Ozora, Mario Dandy menjadi sorotan di jagat maya karena perilakunya gemar flexing.
Buntut dari kasus penganiayaan Mario Dandy, sang ayah Rafael Alun Trisambodo berujung dicopot jabatannya hingga harta kekayaannya sedang diinvestigasi.
Selain santer karena kasus tersebut, muncul pula perilaku flexing yang dilakukan pejabat publik lainnya. Belum lama nama Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu, Suryo Utomo diduga terjerembab dalam gaya hidup hedonis.
BACA JUGA: Mengenal Tradisi Munggahan dan Manfaatnya
Nama lainnya, yang tersangkut flexing dari kalangan pejabat publik adalah Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pranomo, Kepala Kantor Bea Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta Eko Darmanto dan Kepala Kantor Badan Petanahan (BPN) Jakarta Timur Sudarman Harjasaputra.
Terkait perilaku pamer kekayaan, terdapat riset yang mengemukakan dampak dari perilaku tersebut. Salah satunya, bagian dampaknya adalah tidak membuat kita lantas bisa menambah teman.
Riset ini berdasarkan yang dimuat dalam jurnal Social Psychological and Personality Science yang dirilis SAGE Publications.
Melansir Insider, dalam jurnal itu menyebut orang-orang yang melihat unggahan orang lain tentang mobil mewah cenderung suka berteman dengan orang yang mengendarai kendaraan lebih murah. Padahal 66 persen orang cenderung lebih memilih mobil mewah.
Pemilihan mobil juga bisa didasari karena dari upaya seseorang untuk menjalin pertemanan dengan orang lain. Hal demikian, disampaikan salah satu peneliti dari riset tersebut yakni Stephen Garcia dalam blognya di Psychology Today.
“Dengan demikian, orang berpikir bahwa simbol status seperti mengendarai mobil mewah akan meningkatkan minat pertemanan, tetapi simbol status seperti itu justru membuat calon teman kurang tertarik untuk berteman,” kata Stephen Garcia dalam blognya di Psychology Today.
Dampak tersebut juga berlaku bagi orang-orang yang gemar flexing jam tangan mewah. Dalam salah satu simulasi, sekelompok orang diarahkan untuk berpikir bahwa memakai jam tangan mahal akan membuat mereka bisa diterima luas dalam lingkaran pertemanan.
Hasil dari penelitiannya, orang-orang yang menjadi target untuk menjalin relasi malah lebi senang berteman dengan orang yang memiliki jam tangan yang harganya di bawah mereka.
Menurut Gracia, hal itu merupakan sudut pandang dalam perbandingan sosial. “Ketika kita memutuskan sesuatu yang akan dikenakan, kita dalam fase ‘menampilkan peran’ yang tentu kita ingin menampilkan yang terbaik. Tapi kita lupa ada perspektif calon teman (orang lain). Mereka juga ingin terlihat baik dan tak ingin kalah oleh orang lain,” ujar Gracia.
Bisa disimpulkan, setiap orang ingin lebih baik dari orang lain, tak mau kalah seperti ajang pembuktian dalam kehidupan.
BACA JUGA: Alshad Ahmad Ungkap Biaya Perawatan Satwa Peliharaanya
(Saepul/Dist)