BANDUNG,TM.ID: Melalui film bertajuk Film Tigers (2020) kita bisa mengetahui dua sisi dalam industri olahraga sepak bola yang jarang diekspos di layar televisi. Film ini diadaptasi dari biografi mantan pesepakbola Swedia yaitu Martin Begtsson. Berikut penjelasan yang bisa kamu ketahui.
Kehidupan Martin Bengtsson Saat Dikontrak Inter Milan
Ronie Sandahl memperkenalkan penonton pada sosok remaja bekepala botak yang sedang makan siang dengan pria yang lebih tua. Terlihat suasananya sangat hangat dan penuh optimis. Sandahl membocorkan sosok tersebut melalui potongan surat kabar.
Akhirnya penonton tahu bahwa sang remaja bernama Martin Bengtsson. Pesepakbola yang berasal dari Swedia ini bersiap menjemput mimpinya bermain sepak bola di klub elite yaitu Inter Milan. Dia meninggalkan kampung halaman, teman, keluarga, dan sekolahnya untuk itu.
Menjadi Suram Saat Bengtsson Masuk Asrama
Dalam film Tigers momen uplifting seketika berubah saat Bengtsson mendarat di Milan, Italia. Sandahl mengarahkan kamera langsung ke wajah Erik Enge, pemeran utama yang dia pilih. Dia sepertinya ingin menekankan betapa menakutkannya momen saat seorang remaja berada di ruangan yang penuh dengan orang dewasa.
Ketegangan film ini tidak berakhir di sini. Bengtsson dikirim ke asrama tempat dia tinggal bersama pemain muda lainnya. Dia mencoba menuntut beberapa poin penting dalam kontrak, seperti kamar pribadi dan kursus bahasa Italia. Namun, staf hanya menanggapi dengan santai.
Ketidaknyamanan Bengtsson semakin terasa saat teman sekamarnya acuh tak acuh. Jelas bahwa dia bahkan tidak menyukai kehadirannya. Dari situ, Sandahl mulai membeberkan budaya bullying dan persaingan kotor. Ini seperti kritik tajam terhadap semua pidato dan slogan tentang olahraga.
Faktanya, anak muda yang terlibat dalam sepak bola dan industri olahraga pada umumnya tahu betul bahwa ini adalah aset. Tekanan ini pasti akan berdampak besar pada perkembangan pola pikir dan kepribadian mereka.
Minimnya Perhatian Kesehatan Mental Atlet
Selain tekanan dari pemain muda lainnya, Bengtsson dalam film Tigers juga menghadapi banyak tuntutan dari staf dan pelatih. Orang dewasa dalam industri ini digambarkan sebagai individu yang benar-benar haus akan uang, tetapi hal ini dilakukan di latar belakang. Ini terlihat dari cara mereka secara psikologis menekan pemain dengan kedok nasihat dan dorongan.
Sandahl menunjukkan bahwa budaya bullying dianggap normal dan dilakukan bahkan oleh orang dewasa dalam tim. Seolah-olah itu adalah tamparan bagi semua aktivis olahraga yang mungkin tidak pernah menyentuh inti kesehatan mental atletnya.
Pengabaian kesehatan mental atlet ini tidak terbatas pada jajaran klub. Media dan penggemar sering memberikan tekanan yang sama. Apalagi dengan gencarnya media sosial, cyberbullying menjadi semakin mudah. Jika terlihat buruk, penggemar dan media bisa langsung menghujat.
Tidak semua pesepakbola harus melalui pengalaman seperti Bengtsson. Namun, bukan berarti itu tidak pernah terjadi. Masih banyak Bengtsson lain yang tidak mau berbagi pengalaman dan ingin menyimpan traumanya sendiri.
BACA JUGA: Steven Knight Garap Serial Drama Kisah William Shakespeare
(Kaje)