TANJUNGPINANG, SUAR MAHASISWA AWARDS — Tawa ringan dan aktivitas kuliah sehari-hari kini terselubung kegelisahan yang dalam. Mahasiswa Gen Z di Indonesia, yang tumbuh di tengah kemudahan akses dan arus informasi digital, menyimpan luka psikologis yang tak kasat mata. Survei Jakpat (Des 2024) menyebut bahwa 61% Gen Z mengalami perubahan mood yang drastis, 54% mengalami kesulitan tidur, 38% kesulitan mengontrol impuls, dan 37% menderita gangguan kecemasan . Ini bukan sekadar kegelisahan biasa, tapi alarm mimpi generasi muda yang semakin terpojok oleh harapan dan tekanan zaman.
Digolongkan sebagai rentan, Gen Z juga menghadapi peningkatan stres menurut detikHealth, gangguan kesehatan mental di antara mereka meningkat hingga 200%, dengan kasus depresi dan kecemasan mendominasi . Faktor utamanya? Intensitas media sosial, tekanan akademik, dan konflik identitas di ruang maya. Perbandingan ekspektasi hidup di Instagram atau TikTok terhadap kenyataan kuliah dan tekanan ekonomi menghasilkan jurang perasaan tak cukup. Gen Z tampak berjuang menyeimbangkan antara realita dan penampakan digital.
Temuan dari UIN Surabaya (Maret 2024) menegaskan kompleksitas ini. Mahasiswa yang bergantung pada media sosial dengan intensitas tinggi rentan mengalami kecemasan dan stres, terutama bila mereka memiliki skor tinggi pada kerentanan psikologis . Namun, riset yang dilakukan Universitas Sulawesi Barat justru menunjukkan bahwa meskipun 33,7% mahasiswa kadang merasa terbebani oleh media sosial, masih ada sekitar 39,4% yang merasa termotivasi olehnya. Ini menandakan bahwa media sosial bukan musuh total hendaknya digunakan dengan bijak sebagai alat, bukan jebakan.
Tanggapan Gen Z sendiri cukup dewasa dan solutif. Menjelang akhir 2024, terbit publikasi di Kampusinovatif.id tentang gerakan proaktif Gen Z dalam menjaga kesehatan mental secara kreatif dan kolaboratif . Ada yang membuat grup peer support, ada yang rutin latihan mindfulness atau art therapy, bahkan ada kampus yang menyediakan layanan konseling via Zoom dan WhatsApp untuk mahasiswa yang membutuhkan seperti di program Kampus Merdeka, di mana mahasiswa merasa terbantu lewat sesi “trauma dump” via WhatsApp counseling .
Akademisi dan praktisi kesehatan menekankan pentingnya intervensi terpadu: pendidikan karakter sejak dini, peningkatan literasi mental untuk guru, orang tua, dan mahasiswa, serta akses mudah ke konseling profesional. Dr. A. Kasandra Putranto dari Antara News (Okt 2024) bahkan menyampaikan bahwa “kesehatan mental lebih penting daripada fisik”, karena kondisi jiwalah yang mendorong kehidupan fisik yang lebih stabil yang kemudian menjadi pondasi visi Indonesia Emas 2045 .
Kini, Gen Z tak lagi hanya menunggu. Mereka membuat kampanye #MentalHealthMatters, konten edukatif, workshop fundraising, dan ruang diskusi digital. Mereka membangun narasi sehat bahwa merasa rapuh bukan tanda lemah, tetapi sinyal untuk bergerak secara kolektif. Mereka memilih untuk berbicara lantang tentang ketakutan, obsesi, dan harapan. Di balik senyum mereka, terdapat semangat untuk pulih, berdaya, dan tetap yakin akan masa depan.
(Muhamad Syafiq Gusmalianto/Universitas Maritim Raja Ali Haji)